Malang Kota Halal, Kebijakan Wali Kota Sutiaji Dinilai Merusak Toleransi

Malang Kota Halal
10 tokoh masyarakat Kota Malang saat menemui Ketua DPRD Kota Malang I Made Rian Diana Kartika di Gedung DPRD (foto - efnews.id)

Jakarta, Semartara.News – Malang Kota Halal menuai beragam reaksi dari berbagai lapisan masyarakat yang ada di Kota Malang itu sendiri. Belum lama ini,  Kota Malang dihebohkan dengan gagasan Halal City untuk menarik minat wisatawan muslim berkunjung ke Kota Malang.

Namun keinginan Wali Kota Malang, Sutiaji yang secara tiba-tiba ingin menwujudkan Malang sebagai Halal City dengan menggandeng KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam), memicu perdebatan dan polemik di kalangan tokoh masyarakat di kota Malang.

10 tokoh masyarakat Kota Malang menanggapi dengan keras rencana yang diadakan secara tiba-tiba tanpa ada angin dan hujan itu. Membalut slogan Kota dengan embel-embel agama bisa menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam dan memantik polemik diantara warga. Karena itu pada 9 Februari 2022, mereka mendatangi Ketua DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Malang 2019-2024, I Made Rian Diana Kartika di Gedung DPRD, jalan Tugu 1A  untuk melakukan audiensi atas keresahan yang ditimbulkan oleh Pak Sutiaji sebagai seorang Walikota.

Kuatir gagasan ini akan merusak keutuhan Kota Malang sendiri dan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, kelompok radikal maupun khilafah atas pelabelan kota halal tersebut. Padahal dari dulu Kota Malang dikenal dengan kota yang sangat toleran serta menghargai perbedaan.

Keresahan diantara perwakilan masyarakat dalam mewujudkan Malang Kota Halal atau sebagai Halal City sangatlah tidak relevan, dan menyakiti seluruh masyarakat Kota Malang yang beragam latar belakang, suku agama, ras dan antar golongan.

Soetopo Dewangga, salah satu perwakilan masyarakat yang menemui Pak Made, mengatakan bahwa Kota Malang seharusnya menjadi kota yang maju, jangan menjadi kembali kota yang diembel-embeli dan sok agamis.

“Saya dan teman-teman disini berani bertanya dan bertindak atas apa yang diucapkan Pak Walikota karena kami ini muslim. Lalu bagaimana dengan teman kita yang non-muslim? Mereka hanya akan berserah dan tidak berani memprotes atas pernyataan walikota, padahal kami tahu dalam hati mereka juga merasakan keresahan tersebut namun tidak berani mengungkapkan,” curhatnya pada Pak Made.

“Pernyataan Walikota berpotensi untuk menteror dasar negara, dan jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila sila pertama dan ketiga. Ketika kita mendasarkan pada aturan yang ada pada dasar negara, kita itu tidak ada rujukan bahwa negara ini akan mengarah pada satu agama. Wali Kota juga kami anggap sudah melanggar sumpah jabatan, beliau dilantik sebagai Wali Kota itu untuk setia pada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), setia pada peraturan perundangan yang berlaku dan menjalankan segala peraturan sejujurnya untuk masyarakat,” lanjutnya.

Bambang Gatot Wahyudi yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menyatakan bahwa beliau sudah konfirmasi ke Pak Sutiaji, namun begitu kecewanya saat dikonfirmasi kepada Pak Sutiaji, Pak Sutiaji hanya sekedar urusan makanan.

“Lha kalau urusan makanan, orang Muslim tidak perlu diajarin, untuk makanan non-halal kita juga tidak mungkin beli. Makanya itu yang perlu kita sikapi selain dasar-dasar filosofi yang telah disampaikan oleh teman-teman kita. Ini bukan sikap kita atas problem-problem kelompok maupun pribadi, tapi inilah komitmen kita bernegara,” jelasnya.

“Di Forum DPRD, Wali Kota harus bisa dihadirkan untuk menjelaskan istilah ini mau kemana? Karena ini berurutan bukan hanya tentang halal city, namun sebelumnya ada surat edaran yang mana surat tersebut menciderai teman-teman Indonesia Timur dengan melarang penjualan daging anjing. Teman-teman muslim jelas tidak akan makan itu. Namun untuk teman-teman Indonesia Timur, kadang itu menu sehari-hari selayaknya kita makan kambing. Dan yang lebih brengsek adalah ada satu warung yang punya hak untuk bekerja, ditutup, karena dia jual daging anjing,” adunya.

“Ini juga rentetan, kalau kita mau mundur lagi tentang Islamic Centre dan lainnya. Ini adalah rentetan yang harus ada konklusinya Kota Malang mau dibawa kemana. Jadi kami minta DPRD untuk memanggil Wali Kota untuk melakukan pertanggungjawaban rangkaian itu,” harap pria yang akrab disapa Bambang GW ini.

Setelah aspirasi disampaikan, Pak Made selaku ketua DPRD Kota Malang mengungkapkan bahwa beliau sudah mengikuti keresahan masyarakat mulai dari Islamic Center, Surat Edaran Larangan Daging Anjing dan gagasan Halal City. “Untuk Islamic Center, kami sudah berkoordinasi dengan Organisasi Non-Muslim, bila Islamic Center sudah jadi, mereka akan diberi space di tempat tersebut, namun mereka menolak dengan alasan sungkan, karena merasa bukan haknya diakibatkan karena pemakaian nama Islam di Gedung tersebut,” jelas Pak Made. “Ini menimbulkan persepsi Kota Malang hanya milik satu agama saja,” tambahnya.

“Soal daging anjing, feeling saya mengatakan pasti akan ramai. Bermula dari permintaan Dog Lover yang tidak menginginkan anjing peliharaan yang hilang untuk jadi bahan konsumsi, namun karena Walikota orangnya reaktif, langsung keluar surat edaran tanpa pemberitahuan, tanpa komunikasi by phone ataupun lisan dengan DPRD, akhirnya kami banyak mendapat masukan dari warga ntt yang ketuanya Goerge DeSilva,” jelas Ketua DPRD, Dikutip dari efnews.id.

Sebenarnya saya ingin agar Pak Wali Kota mencabut surat edaran itu, sudah saya peringatkan dan sudah saya tegur: Yang sampeyan (Pak Walikota) tahu, yang jual daging anjing itu dimana saja? Seperti Kota Malang dibanjiri penjualan daging tersebut. Apakah sudah cek ke kepala pasar, adakah yang jual daging tersebut? Saya sudah cek dan tidak ada pasar yang jual daging anjing. Nanti akan kita evaluasi, target saya nanti itu surat edaran harus dicabut. DPRD tidak punya kewenangan untuk diajak bicara terkait Surat Edaran dan Peraturan Wali Kota (Perwali) karena itu murni hak wewenang Wali Kota,” jelas Pak Made.

“Tapi kalau sampai di PerDa (Peraturan Daerah) kan, tidak mungkin, dewan pasti akan motong. Sama seperti Halal City, Halal City ini kan lebih pada makanan, jadi meniru seperti perda Semarang. Tapi di Kota Malang belum ada Perda nya, saya sudah cek di Biro Hukum Pemkot (Pemerintahan Kota) belum ada akan menyusun naskah akademik atau menyusun undang-undang tersebut,” jelas Pak Made untuk menenangkan tokoh-tokoh yang hadir tersebut.

Pak Made yang saat itu juga hadir di kegiatan KAHMI sudah mengingatkan Wali Kota untuk tidak membuat surat edaran itu (mengenai Halal City), karena dasar hukumnya tidak ada, karena bisa dipastikan akan ramai.

“Jadi Halal City ini hanya masih wacana, karena itu saya mendapatkan masukan ini menambah wawasan saya, nanti akan saya peringatkan lagi,” tutup Pak Made.

 

Tinggalkan Balasan