Kota Tangerang, Semartara.News – Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan Seksual UMT akan mendorong pembentukan satuan tugas (Satgas) pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual (KS) di kampus.
Hal itu disampaikan dalam acara diskusi publik dengan tema “Urgensitas Pembentukan Satgas untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”. Minggu, (26/06/22).
Acara tersebut diinisiasi oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tangerang Raya, Komisariat Fisip UMT. Kegiatan itu berlangsung di Sekretariat HMI di Jalan Perintis Kemerdekaan Cikokol, Kota Tangerang.
Yuli Eka perwakilan dari Aliansi Mahasiswa Anti KS UMT mengatakan berkaitan kasus KS yang pernah terjadi di UMT. Ada satu poin tuntutan yang belum dipenuhi oleh kampus, yaitu pembentukan Satgas.
“Waktu itu ada lima poin tuntutan. Dan, dari lima tuntutan, empat diantaranya dipenuhi termasuk pemecatan pelaku KS. Satu tuntutan yang belum terpenuhi adalah pembentukan Satgas,” katanya.
“Waktu konferensi pers rektor bilang, mereka akan membuat Satgas berdasarkan Permendikbud No. 30. Namun, kita tahu bahwasanya Muhammadiyah kontra dengan Permendikbud. Mungkin karena itu, Satgas belum terbentuk,” tambah Eka.
Policy Brief sebagai Langkah Pembentukan Satgas KS
Di samping itu, Aliansi Anti KS UMT mendapatkan solusi dalam diskusi publik yang terselenggara agar pihak kampus dapat memenuhi pembentukan Satgas. Selain itu, Eka berharap agar mahasiswa yang lain turut mendukung dan bergerak bersama dalam pencegahan dan penanganan kasus KS.
“Langkah selanjutnya, kita akan memakai cara Policy Brief, yang mungkin bisa menjadi solusi untuk pembentukan Satgas di UMT. Namun, saat ini kita akan mengkaji terlebih dahulu soal Policy Brief,” ungkapnya.
“Kekerasan Seksual itu adalah isu bersama jadi kita harus bergerak bersama. Saya atau teman-teman yang lain, kan, enggak ada yang mau jadi korban. Karena itu, kita butuh dukungan teman-teman untuk terbentuknya Satgas ini agar kita merasakan kampus yang aman dari KS,” harap Eka.
Di dalam diskusi perwakilan dari Lingkar Studi Feminis (LSF), Eva Nurcahyani menjelaskan bahwa Policy Brief adalah draf masukan-masukan dan juga analisa untuk mendorong suatu kebijakan. Dan, dari situ seharusnya pihak kampus mau tidak mau harus menjalankan, sekalipun bertentangan dengan lembaganya.
“Policy Brief itu adalah kolekting data atau regulasi dan juga latar belakang. Itu penting untuk pihak birokrat kampus untuk membentuk SOP dan Satgas Penanganan KS. Isinya adalah analisa kebijakan, yang manfaatnya untuk mendorong birokrat kampus, bahwa ini loh sudah ada regulasi-regulasi,” terangnya.
“Kalaupun ternyata pihak kampus tidak menyetujui regulasi ini. Ada program pemerintah yang mau tidak mau harus dijalankan. Kita ambil celah disitu,” jelas Eva yang pernah bergabung di LBH Apik.
Di sisi lain, Rara Tia, perwakilan dari HMI mengatakan pandangan Islam tentang KS. Menurutnya, penting untuk mengkampanyekan dan mengedukasikannya kepada orang terdekat.
“Dalam islam, tidak ada pembenaran sama sekali atas kekerasan seksual. Islam dengan jelas melarang perbuatan keji itu. Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, di mana saja, dan kapan saja sehingga penting untuk mengkampanyekan dan mengedukasikan kepada orang terdekat. Dalam prakteknya, kita juga bisa membiasakan mubadalah di kehidupan sehari-hari,” ucap Rara. (Kahfi/Say)