Jakarta, Semartara.News – Lima orang mantan petinggi PT Waskita Karya (Persero) Tbk, yang terbukti merugikan keuangan negara hingga Rp202,296 miliar karena membuat 41 kontrak pekerjaan fiktif akhirnya terima vonis hukuman. Menurut laporan yang dikutip dari LKBN Antara, kelima orang tersebut didakwa vonis empat hingga tujuh tahun penjara.
“Menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua penuntut umum,” kata Ketua Majelis Hakim, Panji Surono, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (26/4/2021).
Adapun daftar kelima mantan petinggi Waskita Karya yang menjadi terdakwa tersebut adalah, mantan Kepala Divisi Sipil/Divisi III/Divisi II 2008-2011, Desi Arryani, mantan Kepala Proyek Pembangunan Kanal Timur-Paket 22, Fathor Rachman, mantan Kepala Bagian Pengendalian II Divisi II, Jarot Subana, mantan Kepala Proyek Normalisasi Kali Bekasi Hilir, Fakih Usman, dan mantan Kepala Bagian Keuangan Divisi Sipil III, Yuly Ariandi Siregar.
Mereka terbukti melakukan perbuatan sebagaimana diancam Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Pasal 65 ayat 1 KUHP. “Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa masing-masing, yaitu terdakwa I Desi Arryani dengan pidana penjara selama 4 tahun ditambah denda sebesar Rp200 juta subsider pidana kurungan selama 2 bulan,” kata hakim.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Desi divonis 6 tahun, ditambah denda sebesar Rp300 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan.
“Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa masing-masing, yaitu terdakwa III Fathor Rachman, terdakwa III Jarot Subana, terdakwa IV Faih Usman dengan pidana penjara selama 6 tahun ditambah denda sebesar Rp200 juta subsider pidana kurungan selama 2 bulan,” ujar hakim pula.
Vonis tersebut juga lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Fathor Rachman, Jarot Subana, dan Fakih Usman divonis selama 8 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan. “Terdakwa V Yuly Ariandi Siregar dengan pidana penjara selama 7 tahun ditambah denda sebesar Rp200 juta subsider kurungan pengganti selama 2 bulan,” tutur hakim.
Putusan itu lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK, agar Yuly Ariandi Siregar dijatuhi hukuman pidana penjara selama 9 tahun, ditambah denda sebesar Rp300 juta subsider kurungan pengganti selama 3 bulan. Kepada para terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti yang besarnya berbeda-beda.
“Terdakwa I Desi Arryandi diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp3,415 miliar, namun karena terdakwa telah mengembalikan seluruhnya, sehingga tidak lagi diwajibkan untuk membayar uang pengganti,” jelas Hakim.
Selanjutnya, majelis hakim menjatuhkan hukuman uang pengganti kepada terdakwa II, Fathor Rachman sebesar Rp3,67 miliar, yang bila tidak dibayar maksimal 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka hartanya akan dilelang, dan bila tidak mencukupi akan dipidana selama 1 tahun.
Terdakwa III, Jarot Subana, diminta membayar uang pengganti sebesar Rp7,124 miliar yang bila tidak dibayar maksimal 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka hartanya akan dilelang, dan bila tidak mencukupi akan dipidana selama 2 tahun.
Untuk Terdakwa IV, Fakih Usman, diminta membayar uang pengganti sebesar Rp5,975 miliar yang bila tidak dibayar maksimal 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka hartanya akan dilelang, dan bila tidak mencukupi akan dipidana selama 2 tahun.
Terdakwa V, Yuly Ariandi Siregar, diminta membayar uang pengganti sebesar Rp47,166 miliar, yang bila tidak dibayar maksimal 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka hartanya akan dilelang, dan bila tidak mencukupi akan dipidana selama 2,5 tahun. Fakih Usman menurut majelis hakim, telah mengembalikan uang sebesar Rp2,9 miliar, dan Yuly Ariandi Siregar telah mengembalikan senilai Rp220 juta.
“Keadaan memberatkan dalam perbuatan para terdakwa, tidak mendukung pemerintah dalam program pemberantasan korupsi, para terdakwa mencemarkan nama baik perusahaan tempat terdakwa bekerja yaitu PT Waskita Karya,” imbuh Hakim.
“Hal yang meringankan, para terdakwa berlaku sopan, terdakwa 1 telah mengembalikan seluruh uang dalam perkara a quo, terdakwa IV dan V telah mengembalikan sebagian dari uang dalam perkara a quo, para belum pernah dihukum dalam perkara lain, pembangunan yang para terdakwa lakukan bermanfaat untuk masyarakat dan mendapat penghargaan pemerintah, para terdakwa adalah ibu rumah tangga dan kepala keluarga yang punya anak dan masih membutuhkan bimbingan dari para terdakwa,” kata hakim.
Divisi II PT Waskita Karya bertugas untuk melakukan pekerjaan pembangunan proyek konstruksi berskala besar, yaitu di atas Rp100 juta dengan menggunakan teknologi tinggi dan wilayah kerjanya mencakup seluruh Indonesia dengan proyek-proyek meliputi pembangunan bandara, jembatan, jalan tol, normalisasi sungai, bendungan, dan pelabuhan.
Para terdakwa menyepakati menghimpun dana “Non Budgeter” dengan cara membuat kontrak pekerjaan-pekerjaan subkontraktor fiktif yang melekat pada proyek-proyek utama yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya, yang nantinya pembayaran atas pekerjaan-pekerjaan kepada perusahaan-perusahaan subkontraktor fiktif tersebut dikembalikan lagi (Cash Back) ke PT Waskita Karya. Perusahaan-perusahaan subkontraktor fiktif yang ditunjuk diberikan “fee” peminjaman bendera sebesar 1,5-2,5 persen dari nilai kontrak.
Untuk memudahkan proses administrasi khususnya ‘Cash Back‘ kepada Divisi Sipil, terdakwa I Desi Arryani, mengusulkan agar Divisi Sipil ‘meminjam bendera’ perusahaan subkontraktor milik pejabat/pegawai PT Waskita Karya (Persero).
Selanjutnya staf/kepala seksi administrasi kontrak proyek membuatkan kelengkapan pengadaan pekerjaan-pekerjaan sesuai kontrak yang disusun, namun tidak ada proses pengadaan yang dilakukan, hanya sebagai kelengkapan administrasi kontrak saja, yaitu penawaran harga, berita acara klarifikasi dan data pembanding.
Pembayaran digunakan melalui penerbitan cek tunai dan transfer ke rekening perusahaan subkontraktor. “Terjadi penyalahgunaan wewenang terhadap jabatan dan kedudukan para terdakwa, yaitu menandatangani penandatanganan 41 kontrak dan subkontrak fiktif, menandatangani pemborongan pemesanan, membuat berita acara prestasi pekerjaan, membuat berita acara pembayaran dan kuitansi pembayaran kepada perusahaan subkontrak pendukung yang seluruhnya direkayasa dan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan,” ungkap hakim.
Pada 2009-Mei 2011 telah menandatangani 21 kontrak pekerjaan subkontraktor fiktif yang melekat 14 kontrak pekerjaan utama yang dikerjakan PT Waskita Karya (Persero). Selanjutnya masih ada 20 kontrak pekerjaan subkontraktor fiktif lagi yang diajukan sepanjang Juni 2011-Agustus 2013.
Atas perbuatan kelima mantan petinggi Waskita Karya, ada 14 pihak mendapat keuntungan, yaitu terdakwa I Desi Arryani sebesar Rp3,415 miliar, terdakwa II Fathor Rachman sebesar Rp3,67 miliar, terdakwa III Jarot Subana sebesar Rp7,124 miliar, terdakwa IV Fakih Usman sebesar Rp8,878 miliar, terdakwa V Yuly Ariandi Siregar sebesar Rp47,387 miliar, Kepala Bagian Keuangan Divisi Sipil PT Waskita Karya 2009-2010 Haris Gunawan sebesar Rp1,525 milia, Kepala Proyek Dono Parwoto sebesar Rp1,365 miliar, Imam Bukori sebesar Rp6,181 miliar, Kasir Divisi Sipil Wagimin sebesar Rp20,515 miliar.
Kemudian, Kepala proyek Yahya Mauluddin sebesar Rp150 juta, PT Safa Sejahtera Abadi (terafiliasi dengan Fakih Usman) sebesar Rp8,162 miliar, CV Dwiyasa Tri Mandiri (terafiliasi dengan Haris Gunawan) sebesar Rp3,83 miliar, PT Mer Engineering (terafiliasi dengan Dono Parwoto) sebesar Rp5,794 miliar, dan PT Aryana Sejahtera (terafiliasi dengan Fathor Rachman) sebesar Rp1,7 miliar.