Jakarta – Awal 2022, Bank Indonesia (BI) memulai langkah strategis dengan melakukan normalisasi kebijakan likuiditas, melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM).
Dalam konferensi pers kemarin, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan likuiditas di tanah air memang berlimpah pasca kebijakan quantitative easing yang dimulai sejak 2020. Kebijakan ini ditujukan agar menjaga sektor keuangan dari krisis.
Situasi kini berbeda, ekonomi mulai pulih. GWM akan naik secara bertahap hingga akhir kuartal III-2022 dan diperkirakan ‘menyedot’ likuiditas sekitar Rp 200 triliun dari sistem perbankan. Meski demikian, jumlah itu diyakini masih bisa membuat perbankan punya ruang untuk bernapas.
Banyak yang kemudian bertanya apakah ini tanda pengetatan dimulai?
Bahana Sekuritas menilai langkah BI tersebut justru menunjukkan keengganan BI mengambil langkah pengetatan. Likuiditas yang beredar memang ditarik akibat kenaikan GWM akan tetapi masih terbilang longgar bagi perbankan.
Menurut Putera, pengetatan baru dimulai ketika BI mulai membicarakan kenaikan suku bunga acuan.
“Tampaknya kenaikan GWM ditujukan untuk mengendalikan jumlah uang beredar dan inflasi jika bank mulai menyalurkan kredit, mengingat terlalu banyak likuiditas dalam sistem keuangan,” tulis Bahana dalam risetnya.
Hal yang senada juga dituliskan Bank Mandiri risetnya. Pengetatan terjadi ketika kenaikan suku bunga acuan dilakukan, yang diperkirakan pada akhir semester I-2022 sebanyak tiga kali sampai akhir 2022 menjadi 4,25%.
Meski demikian, menurut Bank Mandiri, BI masih memiliki kebijakan makroprudensial yang akomodatif dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Radhika Rao, Ekonom Senior DBS memandang sedikit berbeda, Meski belum ada kenaikan suku bunga acuan, namun sinyal pengetatan oleh BI mulai terasa. Pelaku pasar akan mulai memperkirakan kenaikan suku bunga lebih banyak tahun ini. (CNBC Indonesia)