Opini  

Ledakan Konten Tidak Senonoh di Era Digital: Krisis Moral Generasi Muda dan Mendesaknya Reaktualisasi Nilai Pancasila

Ledakan konten tidak senonoh mengancam moral generasi muda. Reaktualisasi Pancasila penting sebagai benteng nilai di era digital.
Nada Nurshifa. (Foto: Dok.Pribadi)

Opini, Semartara.News — Pancasila selama ini menjadi dasar negara, pandangan hidup, dan pedoman moral bangsa Indonesia. Dalam masyarakat yang sangat beragam—baik dari segi agama, budaya, suku, maupun cara pandang—Pancasila berfungsi sebagai fondasi nilai sekaligus kompas etika yang menyatukan seluruh warga negara. Namun, perkembangan teknologi digital yang begitu cepat menghadirkan tantangan baru. Perubahan sosial dan pola pikir generasi muda sering kali membuat nilai-nilai Pancasila tergerus, bahkan tidak lagi dipahami secara mendalam.

Dalam dua tahun terakhir, ledakan konten tidak senonoh di media sosial menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Platform seperti TikTok, Instagram, X, hingga layanan live streaming kini dipenuhi konten vulgar yang diproduksi dan dibagikan secara masif demi popularitas, sensasi, dan keuntungan instan. Konten yang dulu dianggap tabu kini justru dinormalisasi sebagai “hiburan” atau “tren viral”.

Riset menunjukkan bahwa remaja menjadi kelompok paling rentan terpapar konten-konten ini. Algoritma memperparah situasi dengan mendorong konten sensasional yang memancing interaksi tinggi. Lebih ironis lagi, praktik seperti liveshow terselubung, clickbait vulgar, hingga jual beli konten eksplisit semakin marak, bahkan dilakukan oleh kelompok usia muda.

Fenomena ini tidak bisa lagi dianggap sebagai masalah etika personal. Ini adalah krisis moral kolektif yang menggerogoti karakter generasi muda dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Karena itu, reaktualisasi Pancasila menjadi kebutuhan mendesak agar tetap relevan dalam menghadapi tantangan era digital.

Mengapa Konten Tidak Senonoh Begitu Masif?

Fenomena ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada beberapa faktor utama yang membuat konten vulgar begitu mudah menyebar dan diminati:

1. Budaya Sensasi di Ruang Digital

Di media sosial, perhatian adalah mata uang. Konten yang sensasional lebih mudah masuk halaman rekomendasi seperti FYP atau trending. Demi viral, banyak kreator muda rela mengorbankan norma kesopanan dan martabat diri.

2. Monetisasi dan Godaan Keuntungan Instan

Platform live streaming menyediakan gift, tip, dan skema pay-per-view yang menjanjikan pendapatan cepat. Konten vulgar menjadi “jalan pintas” menghasilkan uang tanpa keterampilan khusus, sehingga mendorong eksploitasi diri demi materi.

3. Minimnya Literasi Digital dan Kontrol Diri

Sebagian besar remaja belum memiliki kemampuan berpikir kritis untuk menyaring konten. Mereka cenderung meniru perilaku yang dianggap “laku” di internet tanpa mempertimbangkan risiko moral maupun hukum.

4. Lemahnya Pengawasan Platform

Meski platform memiliki kebijakan moderasi, banyak konten vulgar tetap lolos sensor, disamarkan, atau diunggah pada jam-jam tertentu. Ruang digital menjadi semakin bebas tanpa kontrol yang jelas.

5. Algoritma yang Mengutamakan Interaksi

Algoritma bekerja dengan logika sederhana: konten yang paling memicu interaksi akan terus didorong. Karena konten vulgar memancing likes, komentar, dan share, sistem secara tidak langsung memberi “reward” pada konten yang merusak.

Nilai-Nilai Pancasila yang Diabaikan

Maraknya konten tidak senonoh menunjukkan bahwa beberapa nilai dasar Pancasila terabaikan:

1. Sila Kedua — Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Konten vulgar mencerminkan berkurangnya rasa malu, kehormatan, dan penghargaan terhadap martabat manusia. “Beradab” berarti memanusiakan diri dan orang lain, bukan menjadikan tubuh sebagai komoditas tontonan.

2. Sila Keempat — Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan

Budaya sensasi membuat generasi muda kehilangan kemampuan mengambil keputusan secara bijak. Tren lebih diikuti daripada nilai, padahal sila keempat menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam bertindak.

3. Sila Kelima — Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Ketika konten vulgar dinormalisasi, anak-anak dan remaja menjadi korban paparan yang mereka belum siap hadapi. Sementara itu, pelaku meraup keuntungan pribadi. Ketidakadilan moral semacam ini menjadi ancaman bagi masa depan bangsa.

Urgensi Reaktualisasi Pancasila di Era Digital

Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis moral serius yang tidak cukup ditangani hanya melalui hukum. UU ITE dan UU Pornografi memang menekan pelaku, tetapi tidak menyentuh akar masalah: hilangnya pondasi moral.

Reaktualisasi Pancasila berarti menghidupkan kembali nilai-nilai luhur itu dalam konteks modern agar relevan menghadapi tantangan digital. Pancasila merupakan pedoman moral jangka panjang yang dapat membantu generasi muda untuk:

  • Menumbuhkan rasa malu dan integritas pribadi
  • Menahan diri dari dorongan viral
  • Menghargai martabat diri dan orang lain
  • Memiliki filter moral sebelum memproduksi atau mengonsumsi konten
  • Mengambil keputusan yang bijak, bukan sekadar mengikuti tren

Jika nilai Pancasila benar-benar terinternalisasi, paparan konten vulgar tidak akan mudah menggoyahkan karakter generasi muda.

Relevansi Pancasila dalam Dunia Digital dan Globalisasi

Di era banjir informasi, peran Pancasila semakin penting sebagai filter moral. Tanpa pegangan nilai kuat, generasi muda mudah terpapar:

  • Kekerasan digital
  • Pornografi
  • Cyberbullying
  • Penipuan daring
  • Radikalisme digital
  • Budaya konsumtif dan eksploitasi tubuh

Pancasila dapat menjadi benteng moral melalui:

  • Sila Persatuan: menangkal polarisasi digital akibat hoaks dan perdebatan politik
  • Sila Kemanusiaan: mendorong etika digital, menghormati privasi, menolak eksploitasi
  • Sila Kerakyatan: membiasakan diskusi sehat, bukan saling membenci
  • Sila Keadilan: memahami kesenjangan akses teknologi dan dampaknya

Pancasila justru semakin relevan untuk menghadapi realitas digital yang kompleks.

Solusi Konkret: Membangun Ekosistem Moral Digital

1. Edukasi Pancasila Berbasis Digital

Pendekatan moral harus hadir di ruang yang sama dengan generasi muda. Edukasi Pancasila bisa diwujudkan dalam bentuk:

  • Konten kreatif yang estetis dan relatable
  • Kampanye moral humoris ala TikTok
  • Infografis etika digital
  • Video eksperimen sosial tentang bahaya konten vulgar

Pendidikan nilai tidak boleh kaku; harus mengikuti budaya digital.

2. Penguatan Literasi Digital Remaja

Literasi digital meliputi kemampuan:

  • Mengenali konten vulgar
  • Memahami dampak psikologis dan sosial
  • Memahami konsekuensi hukum
  • Membangun kontrol diri terhadap godaan viral

3. Peran Keluarga dan Sekolah

Keluarga perlu membuka ruang diskusi tentang apa yang ditonton anak di media sosial. Sekolah juga harus mengajarkan:

  • Etika digital
  • Penggunaan teknologi yang bertanggung jawab
  • Bahaya eksploitasi seksual digital

4. Penegakan Aturan Platform Secara Ketat

Platform digital harus:

  • Memperketat moderasi
  • Menutup celah konten vulgar terselubung
  • Menurunkan konten yang merendahkan martabat manusia

Kerja sama antara pemerintah, sekolah, dan platform sangat penting.

5. Gerakan Moral Berbasis Komunitas Muda

Generasi muda harus menjadi aktor utama perubahan melalui:

  • Komunitas literasi digital
  • Kreator konten positif
  • Kampanye anti-eksploitasi tubuh
  • Gerakan mahasiswa peduli etika digital

Moral digital harus dibangun dari komunitas muda itu sendiri.

Kesimpulan

Ledakan konten tidak senonoh di era digital bukanlah sekadar fenomena hiburan. Ini adalah tanda bahwa bangsa sedang mengalami krisis moral yang serius. Nilai-nilai Pancasila kian terpinggirkan oleh budaya viral, monetisasi instan, dan lemahnya karakter generasi digital.

Krisis ini tidak dapat diatasi hanya dengan hukum dan sensor. Yang kita butuhkan adalah reaktualisasi Pancasila sebagai pedoman hidup yang relevan bagi generasi muda. Melalui literasi digital, pendidikan moral, peran keluarga, pengawasan platform, dan gerakan komunitas, Indonesia dapat membangun kembali benteng moralnya.

Pada akhirnya, Pancasila bukan sekadar hafalan atau dokumen ideologis. Ia adalah kompas moral yang harus terus dihidupkan dan dijaga agar bangsa ini tidak tenggelam dalam arus dekadensi digital. Dengan memahami dan mengamalkan Pancasila, generasi muda dapat menjadi pilar penjaga martabat diri, karakter bangsa, dan masa depan Indonesia.

Penulis: Nada Nurshifa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

Tinggalkan Balasan