Kuasa Hukum Abadi Tjendera: Kasus Ini Bukan Sengketa Perdata, tapi Murni Pidana Penguasaan Lahan

Kuasa hukum Abadi Tjendera tegaskan perkara penguasaan lahan di PN Tangerang bukan kriminalisasi, tapi murni penegakan hukum.
Rully Tarihoran, kuasa hukum Abadi Tjendera, menyatakan bahwa kasus penguasaan lahan ini merupakan penegakan hukum berdasarkan bukti yang kuat, bukan upaya kriminalisasi. (Foto: Ist)

Tangerang, Semartara.News — Rully Tarihoran, sebagai kuasa hukum Abadi Tjendera, menekankan bahwa perkara yang tengah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang bukanlah upaya kriminalisasi, melainkan langkah penegakan hukum yang tepat berdasarkan bukti yang kuat. Ungkapan ini disampaikannya setelah majelis hakim mengeluarkan keputusan sementara yang menolak seluruh keberatan dari para terdakwa dalam kasus diduga penguasaan lahan tanpa hak.

Keputusan itu menegaskan keabsahan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), sehingga proses peradilan dapat maju ke tahap pemeriksaan bukti.

“Dengan penolakan terhadap keberatan tersebut, pengadilan menilai dakwaan JPU sebagai valid baik secara bentuk maupun isi. Ini membuktikan bahwa kasus ini memang mencakup unsur pidana yang nyata, bukan hanya upaya untuk menekan secara tidak sah,” kata Rully saat berbicara dengan wartawan di Tangerang, Kamis (16/10/2025).

Dalam sidang yang dihelat pada Rabu (15/10/2025), terungkap bahwa surat dakwaan terhadap kedua terdakwa, yakni Andreas Tarmudi dan Januaris Siagian, telah disusun secara rinci, jelas, dan selaras dengan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Majelis hakim menyatakan tidak ada dasar yang memadai untuk menghapus dakwaan, sehingga agenda selanjutnya akan mencakup pemeriksaan saksi dan pengumpulan bukti lebih lanjut.

Rully menjelaskan bahwa laporan pidana dari Abadi Tjendera didasarkan pada sertifikat kepemilikan tanah yang resmi, yang terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan diperoleh melalui transaksi jual beli yang divalidasi oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

“Di sisi lain, terdakwa hanya bergantung pada dokumen pelepasan hak tanah dan kuasa dari tahun 2000. Mereka telah menduduki, membangun, memagari, serta menyewakan lahan itu tanpa izin dari pemilik yang sah,” jelasnya.

Menurut Rully, aksi penguasaan lahan tanpa wewenang tersebut jelas termasuk dalam kategori pelanggaran hukum pidana, bukan sekadar perselisihan perdata seperti yang dituduhkan oleh terdakwa. Ia menganggap klaim perdata tersebut sebagai strategi untuk menyimpangkan fokus dari realitas hukum yang sebenarnya.

“Apabila setiap pelanggaran atas hak kepemilikan dianggap sebagai masalah perdata saja, maka para pelaku kejahatan tanah akan dengan mudah lolos dari sanksi pidana,” katanya.

Selain itu, Rully menyayangkan semakin banyaknya narasi kriminalisasi yang beredar di media sosial, karena hal itu berpotensi memanipulasi pendapat masyarakat dan mengganggu kemandirian lembaga penegak hukum.

“Mewarnai penegakan hukum sebagai kriminalisasi hanya sebagai bentuk tekanan opini publik. Kami tetap menghormati jalannya proses peradilan dan percaya bahwa hukum harus ditegakkan berdasarkan fakta yang obyektif, bukan atas dasar pandangan pribadi,” tutupnya. (*)

Tinggalkan Balasan