Jakarta, Semartara.News – Rencana impor 1 juta ton beras oleh Kementerian Pergadangan (Kemendag), mendapat penolakan dari berbagai pihak, salah satunya, Anggota Komisi VI DPR RI, Ananta Wahana. Menurutnya, rencana tersebut justru bertentangan dengan prinsip Pancasila yang didengungkan oleh sang Proklamator Kemerdekaan RI, Ir. Soekarno.
Menurut politisi PDI Perjuangan ini, marhaen atau yang disebut dengan petani itu punya alat produksi, tapi tertindas. Sehingga seharusnya, menurut Ananta, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) itu menguatkan posisi petani, bukan justru malah mematikan usaha mereka.
“Kalau Kementerian Perdagangan ngerti bagaimana jalannya Kemerdekaan, bagaimana Soekarno menemukan Ideologi Pancasila, Mendag tidak akan gampang membuat rencana impor beras. Karena menurut Soekarno, petani atau yang disebut marhaen, itu merupakan pengusaha tingkat terkecil, dia punya lahan, dia punya cangkul, pembajak, dan alat produksi lainnya,” kata Alumni Presidium GMNI ini.
“Wacana impor beras ini, bukannya menguatkan posisi petani, justru malah mematikan usaha mereka,” tambah Ananta.
Ananta menuturkan, dukungan pemerintah terhadap petani, bisa dilakukan dengan memberikan kemudahan akses bibit dan juga pupuk. Selain itu, DPR RI dari Dapil Banten 3 ini juga meminta, agar pemerintah membuka akses teknologi pertanian. Sebab, berdasarkan data yang ia himpun, biaya produksi beras di Indonesia, jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya produksi di negara lain, seperti Vietnam dan Thailand.
“Kalau mau mendukung petani, seharusnya yang diimpor itu bukan produk pertaniannya seperti beras. Tapi, impor saja teknologi pertanian dari negara luar yang dianggap sudah maju. Karena seharusnya, para Menteri ini seharusnya dalam membuat rencana kebijakan, bisa menterjemahkan rencana Presiden,” lanjutnya.
“Apa rencana Presiden itu? Presiden mentargerkan untuk swasembada. Jalan satu-satunya menuju swasembada, bukan dengan impor beras besar-besaran. Melainkan, mendukung dan menguatkan posisi petani,” tegasnya.
Alumni Universitas Sebelas Maret, Solo ini, menjabarkan, bahwa produktivitas beras Indonesia perhektare, sekitar 5,13 – 5,24 ton. Angka tersebut masih berada di bawah Vietnam yang mencapai 5,82 ton perhektare. Angka itu, terang Ananta, dia kutip dari Rektor IPB, Arif Satria yang mengacu pada data tahun 2019.
Menurut laporan yang sama, terang Ananta, biaya produksi beras di Indonesia jauh lebih mahal dari biaya produksi negara luar. Alhasil, harga beras di Indonesia mencapai Rp11.355 per kilogram, jauh lebih tinggi dari harga beras internasional Thailan yang hanya Rp5.898 perkilogram, dan Vietnam Rp5.090 perkilogram.
Ananta juga menyinggung, bahwa di tahun yang sama, Indonesia mempunyai luas lahan pertanian sebesar 7.463.948 hektare. Angka tersebut, kata dia, bisa diakses di data BPS tahun 2019, yang mana menurut Kementerian ATR/BPN, Sofyan A Jalil, angka tersebut mengalami peningkatan seluas 358 ribu hektare. Sedangkan angka luas lahan itu, justru berbanding terbalik dengan jumlah produksi yang mengalami penurunan.
“Dengan luas bahan baku sawah itu, jika dimaksimalkan dengan dukungan pemerintah untuk menciptakan biaya produksi murah, dan juga teknologi pertanian yang modern, saya yakin wacana impor ini tidak pernah ada. Wacana impor 1 juta ton beras itu, justru menunjukan kalau pemerintah gagal memberi penguatan kepada petani, serta, gagal memanfaatkan potensi produksi padi di Indonesia,” pungkas Ananta.