Krisis Energi Saat Ini Lebih Kompleks dari Krisis Minyak 1973

krisis energi saat ini lebih kompleks dari krisis minyak 1973
Krisis energi global saat ini lebih kompleks/Foto: Ilustrasi/Ist.

Meski perang Yom Kippur berakhir pada akhir Oktober 1973, embargo dan pembatasan produksi minyak terus berlanjut, dan memicu krisis energi global.

Embargo berlangsung enam bulan (dicabut pada Maret 1974), ada peningkatan inflasi dan banyak negara memasuki tahap pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Tepatnya pada masa perekonomian ini, yang ditandai dengan inflasi yang tinggi dan perekonomian yang stagnan, muncul istilah “ stagflasi ”.

Pada 1979 terjadi krisis energi kembali. Kali ini ketika Revolusi Iran menggulingkan Syah Iran, yang berbuntut kekacauan di negara penghasil minyak dunia saat itu.

Akibat krisis ini, terjadi resesi di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Harga minyak baru kembali ke angka sebelum krisis pada pertengahan tahun 1980-an.

Krisis energi global dekade 1970-an, ketika itu Indonesia masih menjadi pengekspor minyak dan anggota OPEC.

Indonesia masih surplus cadangan minyak, dan bisa menikmati “bonanza” minyak bumi atas oil boom yang terjadi.

Namun itu lalu, sekarang Indonesia sebagai negara pengimpor minyak, bukan lagi pengekspor. Indonesia sudah merasakan kenaikan harga minyak dunia saat ini.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di DPR, awal Juni lalu, menyampaikan bahwa pemerintah harus menanggung Rp 520 triliun untuk subsidi BBM dan listrik guna menahan kenaikan harga.

Kebijakan itu untuk menahan laju inflasi yang merangkak naik dan menjaga daya beli masyarakat yang baru pulih dari pandemi.

Memang krisis minyak saat ini lebih kompleks dari krisis 1973. (*)

Oleh Endang Jaya Permana/Pimred Semartara.News

Melansir dari berbagai sumber

Tinggalkan Balasan