Juliari Peter Batubara adalah Menteri Sosial pada Kabinet Indonesia Maju yang tersangkut kasus dugaan suap bantuan sosial COVID-19.
Setelah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) atas pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial dan swasta, Komisi Pemberantasan Korupsi pada 6 Desember 2020 dinihari juga menetapkan Juliari sebagai tersangka korupsi bansos COVID-19.
KPK menduga Mensos menerima suap senilai Rp17 miliar dari “fee” pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 di Jabodetabek.
Empat orang lainnya juga menjadi tersangka yakni Matheus Joko Santoso (pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial), Adi Wahyono (pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial), Ardian IM (swasta) dan Harry Sidabuke (swasta).
Ardian dan Harry menjadi tersangka pemberi suap, sedangkan Juliari, Matheus dan Adi menjadi penerima suap.
Tak lama setelah penetapan status tersangka, Juliari mendatangi Gedung KPK dan menyerahkan diri.
Penetapan Juliari sebagai tersangka oleh KPK hanya berselang sembilan hari dari penetapan Edhy Prabowo, mantan Menteri KKP sebagai tersangka oleh KPK.
Penangkapan dua menteri terakhir, yakni Edhy Prabowo dan Juliari Batubara merupakan ‘tamparan’ keras bagi Kabinet Indonesia Maju, apalagi mereka belum lama dilantik sebagai menteri.
Tugasnya pun kini telah diteruskan oleh Tri Rismaharini, mantan Wali Kota Surabaya.
5. Penangkapan mantan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Wahyu Setiawan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yaitu Wahyu Setiawan pada Rabu 8 Januari 2020.
Selain Wahyu, KPK juga telah menetapkan tiga tersangka lainnya, yakni mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF), Saeful (SAE) dari unsur swasta sebagai perantara, dan politisi PDI Perjuangan Harun Masiku (HAR) sebagai pemberi suap.
Diketahui, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun sebagai anggota DPR RI pengganti antar waktu (PAW) dari
Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia.
Padahal dalam rapat pleno KPU RI pada 31 Agustus 2019 silam, semua anggota sepakat mengajukan Politikus PDI-P Riezky Aprilia sebagai anggota PAW DPR RI Nazaruddin Kiemas karena Riezky memiliki jumlah suara terbanyak berikutnya setelah almarhum Nazaruddin.
Namun, Saeful Bahri yang diklaim sebagai pihak swasta oleh KPK, kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina (ATF), orang kepercayaan Wahyu yang juga mantan caleg PDI-P untuk melakukan lobi agar Wahyu mengabulkan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI pengganti antar-waktu.
Selanjutnya, ATF mengirimkan dokumen dan fatwa Mahkamah Agung yang didapat dari SAE kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun.
WSE (Wahyu) menyanggupi membantu dengan membalas ‘Siap, mainkan!” kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menjelaskan kronologi kasus ini.
Kemudian, Saeful memberikan uang Rp150 juta pada advokat DON. Sisanya Rp700 juta yang masih di SAE dibagi menjadi Rp450 juta pada ATF, Rp250 juta untuk operasional.
Dari Rp450 juta yang diterima ATF, kata Lili, sejumlah Rp400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu, namun uang tersebut masih disimpan oleh Agustiani.
Pada Selasa (7 Januari) berdasarkan hasil rapat pleno, lanjut dia, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal.
Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi DON dan menyampaikan telah menerima uangnya dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.
Pada Rabu (8 Januari), ujar Lili, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh ATF. Tim KPK menemukan dan mengamankan barang bukti uang RP400 juta yang berada di tangan ATF dalam bentuk 19 ribu dolar Singapura.
Kasus itu banyak menyita perhatian karena Harun Masiku ternyata sudah melintas kembali ke Jakarta pada 7 Januari 2020, usai sebelumnya dinyatakan kabur menuju Singapura pada hari Senin (6/1) melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang sekitar pukul 11.00 WIB.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020, Harun Masiku hingga saat ini belum ditemukan dan sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buron.
KPK juga menetapkan masa pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap bekas Caleg PDIP tersebut sejak 10 Juli 2020 dan berlaku sampai dengan 6 bulan ke depan (Januari 2021).
Hingga kini, pengadilan telah memberi vonis kepada Saeful Bahri dengan hukuman 1 tahun dan 8 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan karena terbukti ikut menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Saeful divonis 2,5 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp150 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sementara Wahyu divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan karena terbukti menerima suap Rp600 juta dari kader PDI-Perjuangan Harun Masiku dan Rp500 juta dari Sekretaris KPUD Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo, terkait dengan seleksi calon anggota KPU Provinsi Papua Barat periode 2020—2025.
Terungkap di pengadilan, jika suap itu dilakukan karena masyarakat Papua saat itu berdemonstrasi karena tinggal 3 Orang Asli Papua (OAP) yang lolos tes akhir dan menuntut agar yang menjadi anggota KPU Provinsi Papua Barat harus ada yang berasal dari putra daerah Papua.
Demi meredakan emosi masyarakat, Thamrin lalu meminta Wahyu mengusahakan agar 3 OAP tersebut seluruhnya lolos.
Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Wahyu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Majelis hakim pun memutuskan tidak mencabut hak politik Wahyu pada masa waktu tertentu seperti tuntutan JPU KPK.
Sedangkan Agustiani divonis empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan.
Vonis itu juga lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Agustiani divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.