Kontroversi Perpres 109/2025: Beban APBD, Produsen Lepas Tanggung Jawab, dan Ancaman Lingkungan Baru

Pemerintah keluarkan Perpres PSEL 2025 untuk ubah sampah jadi energi. WALHI kritik karena bisa dorong produksi sampah lebih banyak.
Tubagus Soleh Ahmadi, Kepala Divisi Perencanaan WALHI, mengkritik Perpres PSEL 2025 yang dianggap berpotensi mendorong produksi sampah di daerah. (Foto: Ist)

Jakarta, Semartara.News — Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto menuai kritik keras dari organisasi lingkungan. Regulasi tentang Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Terbarukan (PSEL) dinilai berpotensi menciptakan masalah baru dalam tata kelola lingkungan dan keuangan daerah.

WALHI menyebut kebijakan tersebut dapat menyebabkan ketergantungan daerah pada sampah dan melemahkan prinsip tanggung jawab produsen. Kepala Divisi Perencanaan WALHI, Tubagus Soleh Ahmadi, menyatakan bahwa Perpres ini melanggar semangat UU 18 Tahun 2008.

“Perpres ini bukan solusi berkelanjutan. Ia hanya memindahkan beban dari industri ke pemerintah daerah melalui APBD,” katanya, Jumat, 17 Oktober 2025.

Ia menjelaskan bahwa dalam Perpres, pembangunan PSEL bergantung pada ketersediaan anggaran daerah. Akibatnya, dana publik yang seharusnya digunakan untuk pelayanan masyarakat bisa terserap untuk proyek pengelolaan sampah yang mahal dan tidak efisien.

Selain itu, Tubagus menilai PSEL tidak menyelesaikan akar persoalan, yaitu produksi sampah dari industri dan konsumsi berlebihan. “Darurat sampah tidak akan berakhir selama pemerintah tidak tegas menekan produsen plastik sekali pakai,” ujarnya.

WALHI mendesak pemerintah meninjau ulang kebijakan ini dan mengembalikan fokus pada pengurangan sampah dari hulu. Mereka juga meminta daerah tidak terburu-buru mengikuti program PSEL tanpa kajian lingkungan yang matang.

“Kalau tidak hati-hati, proyek ini bisa jadi bumerang: polusi udara meningkat, dana publik tersedot, dan produsen tetap bebas dari tanggung jawab,” tutup Tubagus. (*)

Tinggalkan Balasan