Jakarta, Semartara.News – Komisi VI DPR RI meminta pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menghentikan ekspor minyak sawit.
Sebabnya kendati pemerintah sudah mengeluarkan berbagai jurus jitu dengan gonta-ganti kebijakan.
Namun tetap saja kelangkaan dan gejolak harga minyak goreng dalam negeri hingga kini tak kunjung teratasi, bahkan semakin menjadi.
“Tutup saja dulu keran ekspor minyak sawit itu. Sampai benar-benar masalah minyak goreng dalam negeri ini selesai,” ujar Anggota Komisi VI DPR RI Ananta Wahana, dalam keterangan tertulisnya usai Rapat Kerja dengan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, di Gedung Nusantara, Jakarta, Kamis (17/3/2022).
Menurut Ananta, persoalan kelangkaan minyak goreng ini faktor pemicunya sudah muncul sejak November 2021 lalu karena kenaikan harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar internasional.
Sehingga banyak pedagang minyak goreng menjual produknya ke luar negeri daripada ke dalam negeri.
Kemudian diperparah dengan banyaknya spekulan mencari keuntungan memanfaatkan disparitas harga minyak goreng dalam negeri antara harga di pasar dan harga eceran tertinggi (HET) dengan cara menimbun komoditas itu.
“Urusan minyak goreng ini sudah kemana-mana. Masalah selisih harga, distribusi, penimbunan, spekulan dan para mafia minyak goreng semuanya membuat semakin parah,” ungkap Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan itu.
Oleh karenanya, kata dia, dalam kesimpulan rapat kerja dengan Menteri Perdagangan, ketika kewajaran harga tidak tercapai, Komisi VI meminta pemerintah mengeluarkan pengaturan untuk menghentikan ekspor minyak sawit.
“Kan ironis, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, rakyat kita harus kesusahan mendapat minyak goreng murah,” imbuhnya.
Ketahanan Pangan Lemah
Anggota DPR RI asal Dapil Banten III meliputi Tangerang Raya itu juga menyoroti lemahnya ketahanan pangan nasional lantaran ketergantungan pada pasokan impor.
Ananta menyebut, saat ini beberapa komoditas pangan ketergantungan impor antara lain, gandum dan bawang putih mencapai 100 persen.
Kemudian untuk kedelai mencapai 97 persen, gula 76 persen, dan jagung 11 persen untuk keperluan pakan.
“Ketergantungan ini membuat harga pangan kita bergantung dengan harga global,” ujarnya.
Dan sebentar lagi, lanjut dia, akan memasuki bulan suci Ramadhan, oleh karena itu harga pangan harus segera dikendalikan.
Agar masyarakat yang akan menjalankan ibadah Ramadhan dan Idul fitri dapat merasa tenteram dan khusyuk, tidak terbebani harga pangan yang mahal.
“Saya mengingatkan kepada Pak Menteri bahwa demokrasi politik harus disertai demokrasi ekonomi. Kalau tidak itu namanya demokrasi borjuasi,” sebutnya.
Terkait pengembalian harga minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar, Ananta mengingatkan amanat UUD 1945 Pasal 33.
“Jangan sampai kebijakannya bertentangan dengan mazhab Pasal 22 UUD 1945,” imbuhnya.
Ada Indikasi Penyimpangan
Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan bahwa total DMO sudah mencapai 720.612 ton dan realisasi DMO yang sudah terdistribusi 551.069 ton.
Pendistribusian ini 1,7 kali (168%) dari kebutuhan konsumsi per bulan yang mencapai 327.321 ton.
Namun Menteri mengakui ada indikasi terjadi penyimpangan sehingga barang langka.
Dalam hal ini, Menteri Lutfi berjanji akan membasmi mafia yang mengambil keuntungan dalam menjual minyak goreng secara menyimpang.
Lutfi menyebut telah bekerjasama dengan Kapolri untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Menjelang Ramadhan, barang ini (minyak goreng) akan tersedia karena jumlahnya banyak dan terjangkau. Mudah-mudahan tidak ada yang berspekulasi,” katanya.(Jack)