Jakarta, Semartara.News – Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mempertanyakan sikap Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK), yang seolah-olah sangat bersemangat menyampaikan kepada publik mengenai 92 rekening terkait dengan Front Pembela Islam (FPI) dan afiliasinya.
Menurut dia, PPATK harus memahami tugas dan fungsinya sebagai intelijen keuangan, yang kerjanya diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
“Terkait dengan keterangan-keterangan publik dan media yang disampaikan Kepala PPATK mengenai kasus rekening FPI kasus lintas negara, PPATK bersemangat untuk menyampaikan penjelasan kepada publik,” kata Arsul dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR di kompleks MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, sebagaimana diberitakan LKBN Antara, Rabu (24/3/2021).
Arsul mempertanyakan, apakah sikap PPATK itu merupakan kewajiban hukum, atau hanya ikut-ikutan saja karena FPI sebagai kelompok yang berseberangan dengan pemerintah, lalu PPATK sebagai lembaga dalam rumpun kekuasaan, ikut membuka hal-hal terkait dengan FPI.
Menurut dia, PPATK sebagai unit intelijen finansial tugasnya diatur dalam UU No. 8/2010, yaitu analisis dan laporan terindikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dimiliki PPATK diteruskan kepada penyidik.
“Di dalam Pasal 47 UU No. 8/2010 memandatkan PPATK membuat dan melaporkan tiap 6 bulan kepada Presiden dan DPR. Namun, tidak disebutkan pelaksanaan tugas tersebut disampaikan kepada publik,” ujarnya.
Selain itu, menurut dia, di dalam UU No. 9/2013, langkah pemblokiran rekening terkait dengan tindak terorisme tidak diumumkan kepada publik. Politikus PPP itu menegaskan, bahwa siapapun dan apapun posisi politiknya terhadap pemerintah, tidak boleh mendapatkan perlakuan yang tidak setara atau unequal treatment.
Sedangkan Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mempertanyakan PPATK terkait dengan relevansi membekukan 92 rekening FPI dan afiliasinya. Pasalnya, kalau mengacu pada UU No. 8/2010, objek TPPU adalah hasil kejahatan yang diduga dari tindak pidana.
“Karena berdasarkan informasi (dari 92 rekening itu) ada rekening pribadi dan keluarga. Kalau membaca UU Ormas, Ormas yang dibekukan maka bukan berarti dana ormas itu otomatis menjadi hasil kejahatan, tidak ada ketentuan itu, sehingga apa relevansi penyitaan,” katanya.
Ia mengatakan, bahwa pihak kepolisian sudah memberikan pernyataan, bahwa belum menemukan unsur-unsur pidana terkait dengan 92 rekening tersebut. Oleh karena itu, dia menyarankan agar PPATK membuka blokir rekening-rekening tersebut karena menyangkut milik pribadi dan untuk memenuhi semangat keadilan restoratif.
“Dibuka saja karena itu adalah rekening pribadi menyangkut orang tersebut, kasihan. Misalnya, dana kita ada di rekening tersebut (yang terblokir) maka kesulitan penuhi kebutuhan,” ujarnya.