Tangerang, Semartara.News – Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang mengadakan kegiatan Kolaborasi Validasi Data TB/HIV Tingkat Kabupaten (Priority District) pada Rabu, 17 September 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antarprogram sekaligus meningkatkan ketepatan data TB dan HIV sebagai bagian dari upaya mencapai target eliminasi pada tahun 2030.
Acara dibuka oleh Pengelola Program HIV Kabupaten Tangerang, Yosi Sepriani Purba. Dalam sambutannya, Yosi menekankan bahwa data yang valid merupakan dasar penting dalam perencanaan, pemantauan, dan evaluasi layanan kesehatan masyarakat.
“Data yang akurat dan terintegrasi sangat membantu dalam merancang strategi, mengatasi kendala di lapangan, serta memastikan layanan TB dan HIV berjalan efektif, terarah, dan berkelanjutan,” ujar Yosi.
Kegiatan ini diikuti oleh pengelola program TB dan HIV, tenaga kesehatan dari 37 puskesmas dan rumah sakit, serta perwakilan komunitas. Agenda utama meliputi peninjauan dan sinkronisasi data pasien TB/HIV, identifikasi hambatan di lapangan, serta penyusunan langkah tindak lanjut untuk meningkatkan kualitas layanan di tingkat kabupaten.
Menurut Yosi, forum ini sangat penting terutama bagi layanan yang baru ditunjuk sebagai Penyedia Dukungan Pasien (PDP). “Momentum ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat kapasitas, meningkatkan pemahaman, dan memastikan kolaborasi TB dan HIV berjalan optimal,” katanya.
Ia menambahkan bahwa meskipun program TB telah lebih dulu maju dalam kebijakan dan pelaksanaan, target eliminasi tidak akan tercapai tanpa sinergi dengan program HIV. Hal ini mencakup skrining pasien TB terhadap HIV dan sebaliknya, pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM), penyediaan obat, serta tindak lanjut kasus di lapangan.
Dalam kesempatan tersebut, dr. Adria Rusli, Sp.P(K) dari RSPI Prof. dr. Sulianti Saroso menjadi narasumber. Ia menekankan pentingnya pemberian ARV segera bagi pasien TB yang terdiagnosis HIV.
“Idealnya, ARV diberikan pada hari yang sama saat pasien TB diketahui positif HIV. Jangan sampai ada keterlambatan hanya karena masalah administrasi atau mekanisme BPJS,” tegas dr. Adria.
Ia juga menyampaikan bahwa Puskesmas cenderung lebih konsisten dalam menjalankan standar layanan dibandingkan rumah sakit. Padahal, target nasional mengharuskan 100% pasien TB diskrining HIV, dan sebaliknya pasien HIV diskrining TB.
Selain itu, dr. Adria menjelaskan perbedaan istilah “TB” dan “TBC”. Menurutnya, istilah “TBC” pernah digunakan untuk mengurangi stigma, namun dalam standar internasional tetap dipakai istilah “TB”. “Yang terpenting bukan istilahnya, melainkan bagaimana layanan dapat menjangkau pasien dengan cepat dan tepat,” tambahnya.
Melalui forum ini, ia berharap tenaga kesehatan di puskesmas dan rumah sakit dapat memperkuat koordinasi sehingga validasi data benar-benar mencerminkan mutu layanan. “Integrasi TB-HIV harus berjalan lancar agar target eliminasi 2030 dapat tercapai,” pungkasnya. (*)