Jakarta, Semartara.News – Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LL.M menyatakan bahwa kesejahteraan hakim merupakan ujian nyata bagi komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam menegakkan hukum dan memberantas mafia peradilan.
Dalam siaran pers, Senin (27/10/2025), Luthfi mengingatkan kembali pernyataan Presiden pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung (19 Februari 2025) bahwa pemerintah akan menaikkan gaji hakim tingkat rendah hingga 280 persen. Tujuannya agar hakim hidup layak dan tidak mudah disuap. Janji tersebut bahkan ditegaskan kembali oleh Presiden dalam pidatonya di hadapan ribuan calon hakim pada 12 Juni 2025.
Luthfi menyebut, Presiden Prabowo telah mendapat laporan bahwa banyak hakim tidak memiliki rumah dinas dan masih menempati rumah kos. Kondisi ini, kata dia, sangat ironis mengingat peran hakim sebagai penegak keadilan yang harus dijaga martabat dan independensinya.
Namun berdasarkan survei Komisi Yudisial, 50,57 persen hakim di Indonesia mengaku penghasilannya belum mencukupi untuk hidup layak. Luthfi memperingatkan bahwa jika pemerintah tidak segera memenuhi janji tersebut, potensi mogok massal bisa menimbulkan kekacauan hukum di seluruh Indonesia.
Melalui Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Presiden kembali menegaskan komitmennya untuk menaikkan gaji para hakim dan hakim ad hoc. Menurut Luthfi, langkah ini akan menjadi fondasi penting bagi reformasi hukum nasional. “Kalau hakim sejahtera, tidak akan ada lagi praktik sogok dan penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Selain itu, Luthfi menegaskan bahwa evaluasi terhadap pembantu Presiden di bidang hukum harus segera dilakukan. “Sudah setahun, sudah saatnya Presiden melakukan monitoring dan mengganti pejabat yang tidak perform. Jangan ragu mengambil langkah konkret,” katanya.
Luthfi, yang pernah menjadi anggota Kelompok Kerja Perma Mediasi di Mahkamah Agung, juga menilai bahwa pernyataan anggota Komisi III DPR Benny K Harman yang menunggu pengesahan RUU Jabatan Hakim sebelum kenaikan gaji adalah keliru. Menurutnya, hal itu hanya menambah beban psikologis bagi hakim dan memperlambat realisasi janji Presiden.
“Status hakim sebagai pejabat negara memang diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009, tapi itu tidak boleh menjadi alasan menunda janji kesejahteraan. Realisasikan dulu komitmen Presiden, baru RUU diselesaikan,” tegasnya. (*)







