Opini  

Ketika Algoritma Menjadi Etalase: Pengaruh TikTok Shop terhadap Pola Belanja Online

Algoritma TikTok Shop mengubah etalase belanja online melalui konten, influencer, dan rekomendasi personal yang mendorong konsumsi impulsif.
Lucky Nurmansyah. (Foto: Dok. Pribadi)

Opini, Semartara.News – Perkembangan teknologi digital tidak hanya mengubah cara masyarakat berkomunikasi, tetapi juga membentuk ulang cara manusia mengonsumsi barang dan jasa. Jika sebelumnya aktivitas belanja identik dengan kunjungan ke toko fisik atau pencarian produk di marketplace, kini teknologi menghadirkan model baru yang lebih imersif dan persuasif. Kehadiran TikTok Shop menjadi contoh nyata bagaimana algoritma platform digital bertransformasi menjadi “etalase” utama dalam aktivitas belanja online.

TikTok Shop memadukan hiburan, interaksi sosial, dan transaksi dalam satu ekosistem digital. Melalui video pendek, siaran langsung, serta rekomendasi berbasis data, konsumen tidak lagi sekadar mencari produk, tetapi “ditemukan” oleh produk itu sendiri. Algoritma berperan mengkurasi konten sesuai minat pengguna, sehingga aktivitas belanja berlangsung secara personal, cepat, dan sering kali impulsif. Dalam hal ini, teknologi tidak hanya memfasilitasi transaksi, tetapi juga membentuk preferensi konsumsi.

Perubahan ini menandai pergeseran penting dalam pola belanja online. Konsumen kini cenderung membeli berdasarkan dorongan visual, narasi influencer, dan interaksi real time, bukan semata kebutuhan rasional. Video demonstrasi produk, testimoni langsung, serta efek urgensi seperti diskon terbatas menciptakan pengalaman belanja yang lebih emosional. Fenomena ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi digital telah mengaburkan batas antara hiburan dan konsumsi, menjadikan aktivitas belanja sebagai bagian dari budaya digital sehari-hari.

Dari sisi teknologi, kekuatan utama TikTok Shop terletak pada algoritma rekomendasinya. Algoritma ini bekerja dengan mengumpulkan dan menganalisis data perilaku pengguna mulai dari durasi menonton, interaksi, hingga preferensi konten untuk menyajikan produk yang dianggap paling relevan. Dengan demikian, etalase digital tidak lagi bersifat statis seperti toko konvensional, melainkan dinamis dan personal. Setiap pengguna pada dasarnya memiliki “toko” yang berbeda, disesuaikan dengan jejak digital masing-masing.

Bagi pelaku usaha, khususnya UMKM, perkembangan ini membuka peluang sekaligus tantangan. TikTok Shop memberikan akses pasar yang luas tanpa memerlukan infrastruktur toko fisik atau modal besar untuk promosi. Banyak UMKM mampu meningkatkan penjualan melalui strategi konten kreatif dan kolaborasi dengan kreator. Teknologi platform memungkinkan produk lokal menjangkau konsumen lintas daerah dalam waktu singkat, sesuatu yang sulit dicapai melalui cara konvensional.

Namun, di balik peluang tersebut, terdapat dinamika ketergantungan yang perlu dicermati. UMKM yang bergantung pada TikTok Shop harus menyesuaikan diri dengan logika algoritma yang tidak sepenuhnya transparan. Visibilitas produk sangat dipengaruhi oleh performa konten, tren, dan kebijakan platform yang dapat berubah sewaktu-waktu. Dalam situasi ini, teknologi berpotensi menciptakan relasi kuasa baru, di mana platform memegang kendali besar atas distribusi perhatian dan arus konsumsi.

Dari perspektif konsumen, algoritma sebagai etalase juga menimbulkan implikasi kritis. Pola belanja yang dipengaruhi konten hiburan berisiko mendorong konsumsi berlebihan dan keputusan impulsif. Konsumen sering kali membeli produk bukan karena kebutuhan nyata, melainkan karena daya tarik visual dan narasi yang dibangun secara sistematis. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi digital tidak netral, melainkan aktif membentuk perilaku dan kebiasaan konsumsi masyarakat.

Fenomena TikTok Shop dengan demikian mencerminkan wajah ekonomi platform di era digital. Teknologi tidak lagi sekadar alat bantu, tetapi menjadi aktor utama yang mengarahkan interaksi antara produsen dan konsumen. Algoritma berfungsi sebagai perantara yang menentukan apa yang terlihat, apa yang menarik, dan pada akhirnya, apa yang dibeli. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap cara kerja teknologi menjadi semakin penting, baik bagi pelaku usaha maupun konsumen.

Oleh karena itu, literasi digital menjadi kunci dalam menyikapi perkembangan ini. Literasi digital tidak hanya berarti kemampuan menggunakan aplikasi, tetapi juga kesadaran kritis terhadap mekanisme algoritma, strategi pemasaran digital, dan dampak jangka panjang dari pola konsumsi berbasis teknologi. Bagi UMKM, literasi digital memungkinkan pemanfaatan TikTok Shop secara lebih strategis dan berkelanjutan. Sementara bagi konsumen, literasi digital membantu menjaga otonomi dalam mengambil keputusan belanja.

Pada akhirnya, TikTok Shop menunjukkan bahwa perkembangan teknologi telah mengubah etalase belanja dari ruang fisik menjadi sistem berbasis data dan algoritma. Perubahan ini membawa efisiensi, akses, dan peluang baru, tetapi juga menghadirkan tantangan etis dan sosial yang tidak bisa diabaikan. Masa depan belanja online tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi, melainkan oleh sejauh mana manusia mampu mengelola dan mengkritisi teknologi tersebut agar tetap berpihak pada kebutuhan, bukan sekadar dorongan konsumsi.

Penulis: Lucky Nurmansyah, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sultan Maulana Hassanudin Banten. (*)

Tinggalkan Balasan