Opini  

Kecerdasan Buatan dalam Perspektif Etika dan Humanisme Islam

Peran AI dalam perspektif Islam: etika, tanggung jawab, dan humanisme untuk kemaslahatan manusia dan peradaban.
Lanang Juliana. (Foto: Dok. Pribadi)

Opini, Semartara.News – Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) merupakan salah satu fenomena paling menonjol dalam peradaban modern. Teknologi ini tidak hanya mengubah cara manusia bekerja dan berkomunikasi, tetapi juga memengaruhi cara berpikir, mengambil keputusan, dan memaknai kehidupan. Dalam perspektif Islam, kemajuan teknologi pada dasarnya dipandang sebagai bagian dari ikhtiar manusia dalam mengelola alam semesta, namun harus tetap berada dalam koridor etika dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari ajaran Islam.

Islam memandang ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai amanah dari Allah SWT. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diberi kedudukan sebagai khalifah fil ardh (QS. Al-Baqarah: 30), yaitu pemimpin dan pengelola bumi. Dengan posisi tersebut, manusia memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa setiap hasil kecerdasan dan kreativitasnya—termasuk AI—digunakan untuk kemaslahatan, bukan kerusakan (fasad).

Dari sudut pandang etika Islam, penggunaan kecerdasan buatan harus berlandaskan pada prinsip maqashid syariah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. AI yang dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial sejalan dengan tujuan syariat. Namun, AI yang digunakan untuk manipulasi informasi, pengawasan berlebihan, atau eksploitasi manusia bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adl) dan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).

Persoalan etika juga muncul terkait pengambilan keputusan oleh mesin. Dalam Islam, tanggung jawab moral tidak dapat dialihkan kepada teknologi. Setiap keputusan yang berdampak pada manusia tetap berada di bawah pertanggungjawaban manusia sebagai subjek berakal (‘aqil) dan bermoral. AI hanyalah alat (wasilah), bukan penentu nilai benar dan salah. Oleh karena itu, menyerahkan sepenuhnya keputusan etis kepada algoritma tanpa kontrol manusia bertentangan dengan prinsip tanggung jawab individu dalam Islam.

Dari perspektif humanisme Islam, manusia memiliki kedudukan mulia (karamah insaniyah). Allah SWT berfirman, “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam” (QS. Al-Isra’: 70). Kemuliaan ini menegaskan bahwa teknologi, termasuk AI, tidak boleh mereduksi manusia menjadi sekadar objek data atau angka statistik. Nilai empati, keadilan, dan kasih sayang harus tetap menjadi fondasi utama dalam pemanfaatan teknologi.

Dalam konteks komunikasi dan media, AI memiliki peran besar dalam penyebaran informasi dan pembentukan opini publik. Islam menekankan prinsip tabayyun (klarifikasi) sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 6. Penggunaan AI dalam produksi konten dan distribusi informasi harus memperhatikan kebenaran (al-haqq) dan menghindari penyebaran hoaks, fitnah, serta manipulasi opini yang dapat merusak ukhuwah sosial.

Tantangan terbesar di era kecerdasan buatan adalah menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai spiritual. Islam tidak menolak teknologi, tetapi mengarahkan agar teknologi menjadi sarana mendekatkan manusia kepada nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. AI yang dikembangkan tanpa kesadaran etis berpotensi menciptakan dehumanisasi, sementara AI yang dibingkai oleh nilai Islam dapat menjadi instrumen peradaban yang berkeadilan dan bermartabat.

Sebagai penutup, kecerdasan buatan dalam perspektif Islam harus dipahami sebagai alat yang berada di bawah kendali nilai-nilai etika dan humanisme Islam. Dengan menjadikan prinsip keadilan, tanggung jawab, dan kemaslahatan sebagai pijakan utama, AI dapat berkontribusi positif bagi kehidupan manusia. Inilah tantangan sekaligus peluang umat Islam untuk berperan aktif dalam mengarahkan perkembangan teknologi menuju peradaban yang berilmu, beretika, dan berakhlak mulia.

Penulis: Lanang juliana, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)

Tinggalkan Balasan