Feature, Semartara.News — Pada malam yang mestinya sunyi, 26 November 2025, di lereng Gunung Marapi dan Singgalang, Sumatera Barat, alam mendadak berubah wajah. Dari kejauhan, suara yang mula-mula terdengar seperti guruh berubah menjadi dentuman panjang, seolah ada tubuh raksasa yang runtuh dari ketinggian. Tak butuh waktu lama sampai warga sadar: galodo—banjir bandang khas tanah Minangkabau—tengah turun dengan wajah paling kelam.
Dalam hitungan menit, lumpur pekat, batu-batu besar, dan batang-batang kayu meluncur dahsyat, menyapu perkampungan dan memutus jalan utama Lembah Anai. 204 jiwa meninggal, 212 orang hilang, dan ribuan lainnya terluka. Banyak keluarga kehilangan hampir semua anggota keluarganya hanya dalam satu malam.
Dulu, masyarakat percaya bahwa hulu sungai adalah penjaga alam; tempat roh alam berteduh, tempat air dilahirkan, tempat pohon-pohon tua menjaga bumi. Namun malam itu, pesan alam begitu tegas: hulu tak lagi menjaga—karena manusia lebih dulu melukainya.
A. Luka Hulu, Luka Kita Semua
Tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menemukan fakta yang mengguncang. Volume sedimen yang terbawa galodo kali ini jauh lebih masif dibandingkan banjir bandang sebelumnya. Material kayu—yang seharusnya tetap berdiri kuat di tanah hulu—ikut hanyut, menandakan erosi besar yang tak lagi bisa ditahan.
Data dari KKI WARSI dan WALHI Sumbar menunjukkan Sumatera Barat kehilangan sekitar 740.000 hektare tutupan hutan antara 2001–2024, salah satu laju deforestasi tertinggi di Indonesia. Jalur-jalur air yang dulu teduh di bawah kanopi pepohonan kini terbuka seperti koridor bebas hambatan bagi air untuk meluncur tanpa rem.
Ketika hulu kehilangan detaknya, dataran di bawahnya bersiap menerima amukan yang tak terduga.
B. Suara dari Kaki Bukit
Di sebuah nagari di Tanah Datar, seorang Kepala Adat berdiri di depan puing rumahnya. Ujung sarungnya dipenuhi lumpur yang belum sempat dibersihkan sejak malam galodo menghantam.
“Dulu hutan di atas sana sangat lebat…,” katanya dengan suara bergetar.
“Kalau orang mau berkebun, dulu batasnya jauh di bawah. Sekarang, kebun sudah naik hampir menyentuh hutan adat. Kami sering lihat truk membawa kayu, bahkan di musim hujan. Galodo ini… bukan karena hujan saja. Di atas, sudah tak ada lagi yang menjaga.”
Di belakangnya, tumpukan lumpur coklat kemerahan memantulkan warna yang sama pada langit pagi. Sisa-sisa tanaman monokultur bercampur di antara batu besar dan batang kayu patah—seolah menegaskan cerita yang baru saja ia tuturkan.
C. Ketika Alam Kehilangan Penopangnya
Menurut Dr. Muhammad Rais Abdillah, peneliti lingkungan dari FITB ITB, galodo ini merupakan buah dari kombinasi sempurna antara cuaca ekstrem dan kerusakan ekologis.
Hujan yang dipicu sistem atmosfer vortex dan bibit Siklon Senyar memang memperkuat intensitas curah hujan. Namun, tanah dan hutan yang telah rusak membuat air tak punya tempat untuk meresap.
“Kapasitas tampung wilayah sudah melemah,” jelasnya.
“Tanah yang rusak tak lagi menjadi spons. Ia berubah menjadi papan licin. Begitu hujan ekstrem turun, kita tahu apa yang terjadi.”
Menurut ITB, mitigasi bencana tidak bisa lagi hanya bergantung pada respon cepat. Penataan ruang berbasis sains, perlindungan hutan, dan sistem peringatan dini harus menjadi fondasi agar bencana serupa tidak terus mengulang luka.
D. Jalan Panjang Menuju Pulih
Ketika kesedihan masih menggantung di udara, satu pertanyaan mulai muncul: Haruskah kita menunggu bencana berikutnya?
Solusi jangka pendek seperti evakuasi dan pembangunan hunian sementara tentu penting. Namun penyembuhan alam membutuhkan langkah yang lebih dalam—lebih konsisten.
Beberapa langkah kunci yang harus dilakukan antara lain:
1. Audit Lingkungan Komprehensif
Mengidentifikasi titik-titik kerusakan hulu secara ilmiah dan rinci, agar kebijakan tak didasarkan asumsi.
2. Reboisasi Berbasis Ekosistem
Menanam kembali pohon-pohon endemik yang kuat menahan erosi, bukan sekadar penghijauan simbolik.
3. Pemberdayaan Masyarakat Adat
Mengembalikan peran penjaga hulu pada mereka yang telah hidup berdampingan dengan hutan selama ratusan tahun.
Restorasi bukan proyek setahun dua tahun. Ia adalah proses panjang yang mensyaratkan keteguhan hati, kolaborasi lintas pihak, dan konsistensi politik.
Refleksi Akhir: Ketika Alam Mengirim Surat Gugatan
Galodo di Sumatera Barat bukan hanya bencana. Ia adalah surat gugatan dari alam kepada manusia—surat yang ditulis dengan air mata, lumpur, dan kehilangan.
Hutan adalah pertahanan alam yang paling setia. Dan ketika manusia melukai hutan, manusia sedang melukai penjaganya sendiri.
Kini, hulu tak lagi mampu menjaga kita.
Maka kita-lah yang harus mulai menjaga hulu.
Bukan besok.
Bukan nanti.
Tapi sekarang—sebelum air bah kembali datang menagih janji yang kita ingkari.
Penulis: Santi Aulia
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)







