Hidup Dengan Diabetes di Masa Pandemi COVID-19

Ilustrasi (Pixabay)

Vaksin untuk penyandang diabetes

Ketua Terpilih PB IDI sekaligus Ketua Tim Mitigasi COVID-19 PB IDI, Dr. Muhammad Adib Khumaidi menuturkan, ada dua kontraindikasi absolut atau kondisi yang tidak boleh mendapatkan vaksin COVID-19 yakni riwayat syok anafilaktik pascasuntikan apapun dan penyakit autoimun.

“Dua itu saja kontraindikasi absolut tidak boleh divaksin. Tetapi kondisi lain atau kriteria eksklusi seperti kanker, diabetes, tekanan darah tinggi. Artinya, jika gula darah tinggi (misalnya) tidak boleh (divaksin),” kata dia.

Hal ini berarti, pasien diabetes perlu mengendalikan gula darahnya dulu untuk bisa mendapatkan vaksin. Terkait hal ini, menurut Johanes, kadar gula yang buruk bisa menyebabkan hasil vaksinasi menjadi tidak efektif.

Selain itu, ada hipotesis mengenai kemungkinan terjadinya hal-hal yang ditakutkan semisal kondisi hingga mengharuskan diabetesi dirawat, pingsan akan lebih kompleks bila gula darahnya masih tidak terkendali sebelum divaksin.

Walau begitu, beberapa waktu lalu ada syarat hasil pemeriksaan hbA1c untuk menggambarkan rata-rata kadar gula darah selama tiga bulan terakhir. Menurut Adib, apabila hbA1C kurang dari 5 maka seseorang boleh divaksin.

Tetapi, hbA1c tidak menggambarkan kondisi aktual saat itu,dua atau tiga hari menjelang divaksin. Sementara biaya pemeriksaan hbA1C tidak murah dan tak semua wilayah memiliki fasilitas pemeriksaan ini, belum lagi ada kebijakan PSBB dan PPKM.

Johanes mengatakan, saat ini diwacanakan tidak menggunakan tes hbA1c, namun melihat kondisi aktual calon penerima vaksin. Apabila ada gangguan kondisi metabolik misalnya muntah-muntah, ketoasidosis diabetik, hipoglikemi, gula darah tinggi atau rendah (di bawah 70), maka tidak dianjurkan vaksin saat itu.

Dari sisi keamanan, vaksin COVID-19 untuk penyandang diabetes aman. Data terkini menunjukkan tidak ada orang dengan diabetes akan berisiko lebih buruk jika menerima vaksin termasuk hipoglikemi.

Reaksi tubuh yang terjadi pada pasien diabetes, umumnya sama seperti orang sehat seperti merah-merah, bentol tapi jarang, kemudian reaksi sistemik seperti lemas, demam, badan pegal-pegal, hingga syok anafilaktik.

Pada orang sehat, misalnya seperti yang dialami dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Vito A. Damay, bahkan tidak ada reaksi sama sekali usai suntikan. Dia mengaku hanya ingin makan nasi padang beserta rendang dan serundeng.

“Vaksin tidak menyebabkan gula darah turun sedrastis itu. Tetapi kalau syok karena orang reaksi alergi berlebihan memang sangat mungkin. Saya kemarin minta nasi padang karena memang ingin saja,” kata Vito yang juga beberapa kali menjadi narasumber dalam diadakan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di kantor Graha BNPB, Jakarta itu.

Terkait rasa lapar yang beberapa waktu lalu dirasakan para tenaga kesehatan penerima vaksin, menurut Johanes, tidak ada laporan studi tentang lapar yang dipublikasi. Kalau memang banyak nakes yang merasa lapar maka ini harus dicatat karena termasuk bagian dari yang menyertai vaksin.

Tetapi, ada beberapa kondisi yang perlu diperiksa lebih lanjut, antara lain apakah laparnya karena terlalu lama menunggu giliran divaksin sehingga terlambat makan, ada masalah lambung atau gula darah sehingga pemeriksaan gula darah sebelum divaksin bisa menjadi pertimbangan.

Sementara bila lapar akibat hipoglikemi, biasanya ada gejala ikutan lain seperti sakit maag, pusing, lapar, perut kembung atau tidak enak.

Jadi, ada harapan di kemudian hari akan lebih banyak orang dengan diabetes bisa menerima vaksin. Daya tahan tubuh turut dipengaruhi kestabilan gula darah. Gula darah bagian dari metabolisme tubuh artinya kalau tidak stabil, sel tubuh kelaparan maka pembentukan antibodi tidak akan optimal, kata Vito A. Damay menyimpulkan.

Tinggalkan Balasan