Harga Minyak goreng Terkatung-Katung, Ini Penyebabnya!

Harga Minyak goreng Terkatung-katung, Ini Penyebabnya!
minyak goreng, penyebab, harga terkatung-katung

Jakarta, Semartaranews – Hasil pantauan Satgas Pangan Polri membuktikan, harga minyak goreng (migor) di pasar memang belum sepenuhnya mengikuti ketentuan harga eceran tertinggi (HET).

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 6/2022, yang diberlakukan sejak 1 Februari 2022.

Hasil temuan satgas, harga rata-rata nasional minyak goreng adalah Rp. 17.125 per liter, naik 0,36% dari sebelumnya Rp. 17.063 per liter harga, naik 0,36%

“Masih tingginya harga rata-rata nasional dipicu tingginya harga minyak goreng pada pasar tradisional. Yang disebabkan belum adanya rafaksi (potongan harga) yang diterima oleh pedagang,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Pol Whisnu Hermawan Februanto dalam keterangan tertulis diterima CNBC Indonesia, Kamis malam (10/2).

Seperti diketahui, pada Januari 2021 pemerintah menjanjikan Rp7,6 triliun dana BPDPKS untuk mengganti selisih harga kemahalan pedagang agar bisa menjual minyak goreng satu harga, Rp14.000 per liter. Subsidi selisih harga itu diatur dalam Permendag No 3/2022, yang sudah dicabut dan digantikan Permendag No 6/2022.

Akibatnya, pedagang masih menjual minyak goreng di kisaran harga Rp18.000 – 20.000 per liter. Merupakan harga pembelian yang lebih tinggi dari HET

“Dan sampai dengan saat ini sejak diterapkannya Permendag No 6/2022 pada tanggal 1 Februari 2022, mereka belum menerima pengiriman minyak goreng dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah,” kata Whisnu.

Dia memaparkan, saat ini stok indikatif minyak goreng sebesar 628,38 ribu ton, sementara kebutuhan adalah 422 ribu ton per bulan, sehingga ketahanan stok adalah sekitar 1,49 bulan.

Kebutuhan minyak goreng nasional tahun 2022 diprediksi sebesar 5,7 juta kiloliter, sebanyak 3,9 juta kiloliter diantaranya kebutuhan rumah tangga.

Ketersediaan minyak goreng diklaim aman, namun keberadanya belum terdata secara pasti, baik di produsen, distributor, sub-distributor, retail modern dan pasar/gerai tradisional.

“Sehingga diperlukan inventarisasi stok guna mendukung kebijakan rafaksi untuk stabilisasi harga minyak goreng,” katanya.

Di sisi lain, ketersediaan di sebagian besar ritel modern diakui mengalami kekosongan.

“Ini disebabkan masih tingginya antusias masyarakat membeli minyak goreng kemasan di retail modern. Karena harganya sudah mengikuti HET yang ditetapkan yakni Rp. 14.000/liter,” ujarnya.

Dia menjelaskan, perbedaan manajemen distribusi antara ritel modern dan pasar tradisional jadi faktor berpengaruh.

Dimana pola distribusi ritel modern cukup pendek dan dapat dikoordinasikan Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo). Sehingga, dengan cepat dapat melakukan konsolidasi dan melaksanakan kebijakan pemerintah untuk stabilisasi harga minyak goreng.

Sebaliknya, dia menambahkan, alur dsitribusi di pasar cukup panjang, dari produsen, ke distributor, selanjutnya ke agen, sub-agen, baru ke pedagang eceran yang ada di pasar tradisional.

“Belum terlaksananya implementasi rafaksi, menyebabkan pedagang eceran pada pasar-pasar tradisional masih menjual minyak goreng sesuai harga pembelian awal (sebelum tanggal 31 Januari 2022). Yang harganya sudah cukup tinggi, sehingga menjualnya kembali di atas HET yang ditetapkan,” kata Whisnu.

Untuk minyak goreng curah, distribusi di Indonesia Timur dilakukan oleh BUMN, yakni RNI dan Bulog. Sedangkan untuk wilayah Indonesia barat oleh distributor non-BUMN.

Satgas, lanjut dia, mengimbau produsen CPO dan minyak goreng, distributor, sub-distributor, agen, gerai retail modern, pedagang pasar tradisional, bersama-sama mematuhi kebijakan pemerintah. Dalam upaya stabilisasi minyak goreng, tidak melakukan pengurangan produksi, menahan ketersediaan dan mengurangi distribusi, mengalihkan alokasi, menjual di atas HET dan tindakan lain yang merugikan konsumen.

“Masyarakat agar tetap tenang karena ketersediaan minyak goreng aman dan jangan ada lagi aksi borong yang mengganggu suplai dan demand,” kata dia.

Sementara itu, ujar dia, satgas pangan daerah memonitor realisasi produksi dan distribusi minyak goreng sesuai jenisnya, memastikan stok dan distribusi lancar, sehingga harga sesuai HET baru bisa terealisasi.

“Identifikasi hambatan dan laporkan pada Satgas pusat. Lakukan monitoring dan koordinasi ke Kemendag terkait DMO dan DPO. Bentuk tim monitoring minyak goreng dan evaluasi secara periodik,” ujar Whisnu. (CNBC Indonesia)

Tinggalkan Balasan