Jakarta, Semartara.News – Sejak diumumkan pertama kali pada Februari lalu, kasus Covid-19 belum mereda. Bahkan, grafiknya masih terus menanjak. Hal ini tentu memukul banyak sektor, utamanya usaha mikro, kecil dan menenangah (UMKM). Perlu diingat bahwa sektor UMKM merupakan juru selamat perekonomian nasional ketika mengalami goncangan dahsyat krisis moneter tahun 1998 lalu.
Mengingat pentingnya sektor ini, maka pemerintah meminta Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau biasa dikenal dengan Indonesia Eximbank untuk menurunkan bantuan pembiayaan kredit bagi UMKM, khususnya dengan orientasi ekspor. Tentunya, hal ini masih sebagai salah satu upaya pemerintah untuk memaksimalkan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)
Penugasan bagi LPEI ini sebenarnya sudah tercantum pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 372/KMK.08/2020 tentang Penugasan Khusus kepada LPEI dalam rangka mendukung sektor Usaha Kecil dan Menengah Berorientasi Ekspor.
Terkait soal ini, Direktur Eksekutif LPEI, James Rompas mengatakan bahwa sasaran program ini adalah UMKM lintas sektor ekonomi dan komoditas, baik barang atau jasa, dengan tujuan ekspor ke negara tertentu.
Dalam program ini, James melanjutkan, plafon kredit yang akan dikucurkan kepada usaha kecil berkisar antara Rp500 juta hingga Rp2 miliar. Sedangkan, untuk usaha menengah mulai dari Rp2 miliar hingga Rp15 miliar. “Khusus untuk pengajuan kredit di atas Rp 10 miliar, LPEI mewajibkan pelaku usaha untuk memiliki laporan keuangan teraudit untuk periode terakhir,” terang James dalam keterangan resminya Selasa (8/9).
Program ini menjadi penting bagi pelaku usaha karena memang fasilitas kredit yang ada saat ini memiliki banyak persyaratan administratif.
PKE UKM merupakan program sinergi 5 kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koperasi dan UKM.
Ia lahir dari usulan Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) pada 2018 terkait dengan PKE kepada UKM subsektor kuliner untuk produk kopi, teh, daging, dan keripik.
Di sisi lain, dengan besarnya guyuran anggaran pada masa pandemi, kerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentu bertambah. Pasalnya, tiap rupiah yang keluar dari kas negara untuk penanganan pandemi, baik dari sisi kesehatan maupun perekonomian, perlu untuk diaudit.
Bagi Ketua BPK, Agung Firman Sampurna, pihaknya akan melakukan audit menyeluruh, atau biasa disebut universe audit bagi anggaran penanganan pandemi dan PEN, khususnya pada tahun anggaran 2020. Audit akan mulai dilakukan dalam beberapa hari ke depan setelah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (8/9).
Menurut Agung, audit ini berlaku bagi semua instansi, bukan hanya bagi pusat dan daerah. Tapi juga audit yang melingkupi lembaga keuangan seperi Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga BUMN.
Audit ini menjadi penting dilakukan agar akuntabilitas anggaran tetap terjaga, meski pemerintah tengah menggenjot pengeluaran untuk menangani dampak pandemi.
“Penyelenggaraan anggaran tidak boleh mengesampingkan prinsip-prinsip bernegara dalam kondisi seperti apapun. Kita semua wajib patuh terhadap ketentuan perundang-undangan,” kata Agung saat Kick Off Meeting Pemeriksaan BPK di Istana Negara, Jakarta.
Agung melihat kebijakan penganggaran untuk penanganan dampak pandemi covid-19 dan pemulihan ekonomi bukan tidak mungkin menimbulkan masalah tata kelola di lapangan. Hal ini terindikasi dari hasil pengumpulan data dan informasi awal yang dilakukan BPK dalam kurang lebih tiga bulan terakhir.
“Permasalahan tata kelola dalam penanganan dampak pandemi covid-19 tidak saja soal penganggaran dan pelaksanaan pada tahap awal. Masalah tata kelola juga terkait dengan penanganan kesehatan sebagai sentral dari masalah dan program jaring pengaman sosial yang merupakan mitigasi risiko sebagai dampak pandemi,” ungkapnya.
Sementara, anggota Komisi VI dari Fraksi PDI Perjuangan, Ananta Wahana menyebutkan bahwa program PEN, khususnya bagi UMKM memang menjadi langkah paling penting di masa pandemi ini. Ananta melihat, UMKM menjadi sektor perekonomian yang mendapatkan pukulan cukup telak di masa pandemi. “Maka, memang sudah benar jika pemerintah mendahulukan bantuan fasilitas kredit bagi UMKM, apa pun sektor usahanya,” kata Ananta di kompleks Parlemen, Rabu (9/9) lalu.
Meski Ananta juga mewanti-wanti untuk tetap menjaga akuntabilitas penggunaan anggaran. Perlu diketahui bahwa pemerintah sudah menggelontorkan anggaran hingga Rp488,06 triliun. Dengan jumlah uang sebesar itu, peran aktif BPK juga perlu untuk dikedepankan. “Jangan sampai ada pihak-pihak yang memainkan anggaran pandemi. Peran BPK untuk universe audit ini menjadi penting,” pungkas Ananta.