Jakarta, Semartara.News – Wajah dunia pendidikan di Indonesia masih belum ramah terhadap perbedaan. Mundur ke belakang, tepatnya pada 2018, hasil Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menunjukan, 57 persen guru intoleran. Selain itu, 37 persen guru berkeinginan untuk berbuat intoleran, atau atensi-aksi.
Data yang dimuat oleh beberapa media mainstream ini, menunjukan betapa maraknya Intoleransi di dalam dunia pendidikan indonesia. Tak berhenti disitu, Dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng nama baiknya. Seorang oknum Guru di SMA Negeri 58 Jakarta bukannya menumbuhkan jiwa toleransi, ia justru mengajarkan sebaliknya.
Oknum tersebut melalui sebuah group WhatsApp, mengajak para siswa memilih ketua Osis yang seagama. Ia meminta murid-muridnya tidak memilih yang beragama non muslim. Dalam group ‘Rohis 58’, sang pendidik intoleran berbicara kesamaan akidah pada anggotanya. Alhasil, Fenomena ini polemik ke berbagai pihak, salah satunya Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI), Arjuna Putra Aldino.
Arjuna menilai, fenomena guru sekolah mengajak siswa intoleran, merupakan bukti kegagalan dalam rekrutment tenaga pengajar di tubuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Artinya, menurut mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) ini, Assesment tersebut tidak efektif menghasilkan guru yang berperspektif kebhinnekaan.
“Tentu kita tidak boleh sekedar memberi sanksi guru tersebut. Tapi, perlu ada evaluasi atas standar assesment serta rekrutmen guru yang selama ini berjalan. Assesment yang selama ini berjalan, kurang menaruh perhatian besar pada perspektif kebangsaan dan kebhinekaan. Hanya sekedar menilai kompetensi mengajar secara formal,” tutur Arjuna, Jumat (30/10/2020).