“Saya nggak pernah takut, nggak pernah menyesali. Justru saya akan terbebani kalau hanya diam melihat hal-hal yang merusak dunia pendidikan kita,”Rumini
Rumini (44), guru honorer di SDN Pondok Pucung 02, Pondok Aren, Tangerang Selatan (Tangsel), mengaku dipecat lantaran membongkar praktik pungutan liar (pungli) di tempatnya mengajar.
Guru honorer yang telah mengabdi sejak 2012 itu membeberkan dugaan sejumlah praktik pungli di SDN 02 Pondok Pucung yang telah berlangsung lama. Mulanya, tutur Rumini, banyak orang tua siswa yang mengadu kepadanya perihal banyaknya iuran di sekolah tersebut.
“Saya mengajar di sana sejak 2012. Jadi rupanya sebelum saya masuk, masalah-masalah seperti itu sudah ada. Sehingga setelah diangkat jadi wali kelas, mulai banyak tahu apa yang sesungguhnya terjadi dan dialami murid-murid di sana,” ucap Rumini di kediamannya di Jalan Salak, RT04 RW07, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2019) sore.
Atas dasar keluhan itu, ia menganalisa laporan anggaran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan BOS daerah SDN 02 Pondok Pucung. Ia menyebut, laporan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.
Ia menemukan, pungutan yang tidak seharusnya pada pengadaan buku sekolah, iuran praktik laboratorium komputer, uang kegiatan sekolah pertahun, biaya daftar ulang, dan iuran pemasangan instalasi infokus.
“Banyak yang mengeluh, tapi mereka nggak berani bersuara karena itu tadi, pasti muncul tekanan. Resiko itu yang buat orang tua murid menerima saja,” katanya.
Lebih lanjut, ia menerangkan, pembelian buku sekolah seharusnya ditanggung dana bantuan BOSda. Namun, sekolah membebankan sejumlah orang tua siswa membeli buku sendiri secara kolektif di luar sekolah. Harganya, sebut Rumini, mencapai Rp 65 ribu pertema. Sementara dalam satu ajaran terdapat 9 tema.
“Kan saya cek di data BOSDa, disitu dianggarkan. Ada volumenya, harga satuan, dan ada juga jumlahnya. Tapi data itu sepertinya tidak sesuai dengan kenyataannya,” imbuhnya.
Sedangkan untuk iuran praktik laboratorium komputer, tiap siswa diharuskan membayar antara Rp15 ribu hingga Rp25 ribu perbulan. Padahal semua itu telah ditunjang oleh dana BOS. Meskipun kenyataannya, para siswa sangat jarang mendapat pembelajaran praktik komputer.
Begitupula iuran kegiatan sekolah pertahun. Tiap siswa, beber Rumini, dipatok Rp 130 ribu. Lalu ada pula iuran daftar ulang siswa tiap tahun, iuran pengadaan instalasi projektor infokus yang dibebankan sebesar Rp 2 juta perkelas. Padahal semua itu, telah tercantum dan ditanggung sepenuhnya oleh dana BOS ataupun BOSDa.
Meski dipecat, Rumini mengaku tak menyesali perbuatannya.
“Saya nggak pernah takut, nggak pernah menyesali. Justru saya akan terbebani kalau hanya diam melihat hal-hal yang merusak dunia pendidikan kita,” tandasnya.
Terpisah, Kepala Sekolah SDN Pondok Pucung 02 maupun Disdikbud Tangsel kompak sama-sama memilih bungkam. Tak ada yang bisa ditemui bahkan dihubungi. Saat disambangi, situasi sekolah SDN Pondok Pucung 02 terbilang sepi lantaran masih dalam suasana libur sekolah.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan, Taryono, yang juga menandatangani pemecatan Rumini juga membantah tentang tudingan buku sekolah dan iuran yang dibebankan.
Pemecatan itu kata Taryono tidak ada hubungannya dengan tudingan Rumini terkait praktik iuran orangtua murid di SDN 02 Pondok Pucung.
“Bukan, kalau kayak gitu (ada praktik pungli) saya dukung (Rumini) benar, saya sudah cek nggak ada. Itu proses panjang sudah lama sekali hampir setahun bukan semata-mata langsung dipecat, karena proses panjang pakai teguran satu kali, dua kali pemanggilan, dan seterusnya,” ungkapnya.
Taryono juga tidak menjelaskan detil alasan pemecatan Rumini, dia malah meminta untuk menghubungi bawahannya. (tim)