Gubernur Sherly Tjoanda Sambangi Gubernur Dedi Mulyadi, Bahas Kepemimpinan dan Warisan Tradisi

Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, mengunjungi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk berdiskusi tentang birokrasi.
Pertemuan antara Gubernur Sherly Tjoanda dan Dedi Mulyadi di Lembur Pakuan, diabadikan dalam tayangan YouTube KDM Channel. (Foto: Tangkapan layar/YouTube KDM Channel)

Jawa Barat, Semartara.News – Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, melakukan kunjungan ke kediaman Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, di Lembur Pakuan, Subang, pada Minggu, 8 Juni 2025.

Pertemuan ini berlangsung dalam suasana hangat dan penuh diskusi, membahas berbagai topik mulai dari birokrasi, transparansi keuangan daerah, hingga pengalaman pribadi Dedi selama menjabat sebagai Bupati Purwakarta.

Dalam sebuah video yang diunggah di kanal YouTube KDM Channel, pertemuan ini diungkapkan sebagai kesempatan untuk bersilaturahmi dan bertukar pikiran mengenai pengelolaan pemerintahan daerah. Dedi Mulyadi menyatakan, “Kami hanya silaturahmi, tetapi juga berbagi tentang pengelolaan keuangan daerah dan transparansi.”

Dalam video tersebut, Sherly terlihat mengenakan busana putih, didampingi oleh dua kolega dan anaknya. Dalam obrolan yang santai namun bermakna, Dedi mengungkapkan keprihatinannya terhadap hilangnya nilai-nilai tradisi di masyarakat Jawa Barat saat ini. “Masalah orang Jabar, mereka sudah lama meninggalkan tradisinya. Sekarang saya ajak lagi, tradisi itu bukan ketertinggalan, tetapi kemajuan,” ujarnya.

Sherly juga menyampaikan tujuan kedatangannya, yaitu untuk mempelajari lebih dalam tentang tata kelola pemerintahan, termasuk perbedaan antara menjabat sebagai bupati dan gubernur. “Apa bedanya jadi bupati sama gubernur? Gampang mana?” tanya Sherly. Dedi menjawab dengan guyonan, “Beda uang, dulu sedikit, sekarang banyak. Gampang jadi gubernur, pusing jadi bupati, karena anggarannya kecil.”

Dalam kesempatan tersebut, Dedi juga menceritakan masa-masa sulit ketika menghadapi tekanan dari kelompok yang mengatasnamakan agama selama menjabat Bupati Purwakarta. Ia mengaku pernah menjadi sasaran protes karena mempertahankan budaya lokal, seperti mengenakan iket Sunda dan menyapa dengan ucapan “Sampurasun.”

“Ributnya itu, saya kan kerjanya ribut. Kelompok atas nama agama, waktu itu saya pakai iket, ribut. Bilang ‘sampurasun’, ribut. Pakai iket katanya musyrik, kafir, didemo. Waktu itu saya belum menguasai media sosial,” jelas Dedi.

Pertemuan ini mencerminkan kolaborasi antardaerah serta menjadi refleksi atas dinamika kepemimpinan di tengah tantangan sosial dan budaya yang kompleks. (*)

Tinggalkan Balasan