Jakarta, Semartara.News – Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) kembali menyoal Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang dikeluarkan oleh Baleg Dewan Pimpinan Rakyat Indonesia (DPR RI). Menurut Arjuna Putra Aldino selaku Ketua Umum DPP GMNI, pihaknya menemukan persoalan terkait upah minimum padat karya yang termuat dalam Pasal 88E Ayat 3 UU Cipta Kerja.
Hasil temuan itu disampaikan, kata Arjuna, setelah dirinya bersama pengurus DPP GMNI melakukan kajian secara menyeluruh. Ia menilai dalam UU tersebut tidak ada penjelasan secara rinci tentang konsep dan formula seperti apa Upah Minimum Padat Karya diterapkan. Sehingga implementasi dari UU Cipta Kerja ini justru berpotensi menimbulkan polemik dengan aturan yang ambigu.
“Upah Minimum Padat Karya adalah konsep baru yang kami temukan dalam UU Cipta Kerja. Dan kami tidak melihat ada penjelasan secara rinci. Sehingga kami pertanyakan formulanya seperti apa, konsepnya bagaimana. Ini penting menyangkut implementasinya di kemudian hari”, jelas Arjuna, Rabu (14/10/2020).
Adanya konsep Upah Minimum Padat Karya yang tidak dirinci dalam UU Cipta Kerja, lanjut Arjuna, justru bertentangan dengan tujuan Omnibus Law itu sendiri. Sebab, semangat dan tujuan dari Omnisbu Law itu untuk menyederhanakan peraturan dan memberi kepastian hukum. Sementara upah minimum padat karya di dalam UU yang baru disahkan ini, jelas Arjuna, hanya tercantum bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai upah minimum industri padat karya dan formula tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
“Tidak ada penjelasan rinci. Hanya disebutkan ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Artinya, ini lagi-lagi memperpanjang alur pengaturan upah minimum ke ketentuan yang lain, yang mana berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum”, tambah Arjuna
Selain itu Arjuna menegaskan, pihaknya menyayangkan makanisme Tripartit yang berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hilang dari UU Cipta Kerja. Terbukti dalam pasal 141, katanya, berbunyi ‘Pemutusan Hubungan Kerja Dilaksanakan Berdasarkan Kesepakatan Antara Pengusaha dengan Buruh/pekerja.
Peran pemerintah baik pusat hingga ke daerah, tambah Arjuna, dihilangkan dalam penyelesaian perselisihan industri antara pihak organisasi Buruh dengan Pengusaha. Itu artinya, kata arjuna, tanggung jawab pemerintah dalam mengupayakan agar tidak terjadi PHK menjadi hilang. Sehingga PHK dengan aturan yang baru ini menjadi urusan private antara buruh dan pengusaha.
“Kami menyayangkan hilangnya mekanisme tripartit dalam hubungan industrial. Padahal peran pemerintah dibutuhkan untuk melindungi pekerja dari watak eksesif modal/investasi. Karena dasar negara kita masih Pancasila, yang artinya Negara punya tanggung jawab melindungi warganya dan Pemerintah memegang kontrol atas arus investasi. Sehingga tidak merugikan rakyat Indonesia”, tutup Arjuna.