Jakarta, Semartara.News – Estimasi pemerintah terkait dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, nilainya naik secara signifikan selama 20 Tahun ke depan, yaitu, asumsi Dana Alokasi Umum (DAU) pemerintah, naik 3,02 persen pertahun. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, dana Otsus Papua, ditaksir mencapai nilai sebesar Rp234 Triliun selama 20 tahun ke depan, karena, memberikan kesempatan untuk daerah tersebut mengejar ketertinggalan mereka dibanding daerah lain menjadi alasannya.
Kebijakan ini mendapat sorotan dari Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino. Dia meminta, pemerintah tidak hanya memperpanjang dana Otsus Papua, tetapi juga memberikan pengawasan yang ketas, terutama terkait transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana tersebut yang terus meningkat secara signifikan terhadap pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan untuk penduduk setempat.
“Saya kira, dana Otsus dari tahun ke tahun terus meningkat jumlahnya. Namun, kita juga perlu melihat hasilnya yang belum signifikan, terutama Indeks Pembangunan Manusia, seperti angka rata-rata lama sekolah masih rendah, dan angka stunting masih tinggi, hingga angka kemiskinan masih terbilang tinggi. Artinya ada masalah tata kelola anggaran di tingkat lokal,” tutur Arjuna.
Dana Otsus yang digelontorkan sejak 2002, terang Arjuna, belum mampu mengubah peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Barat. Sampai 2018, berdasarkan data BPS, keduanya masih menempati urutan buncit secara nasional dengan skor masing-masing 60,06 dan 63,74. Angka harapan lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah (RLS) Provinsi Papua dan Papua Barat, selalu menempati urutan paling rendah di antara provinsi lainnya. Bahkan, masih lebih rendah dari program wajib belajar nasional selama 12 tahun.
Begitu juga dengan sektor kesehatan, angka stunting atau gizi buruk di Papua dan Papua Barat masih di atas 20% dari jumlah penduduk. Dari segi fasilitas kesehatan juga terbilang buruk, rasio tempat tidur rumah sakit, jumlah tenaga kesehatan, jumlah dokter spesialis dan dokter gigi juga jauh dari standar layak. Di lain sisi, ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2011, bahwa, Rp 4,281 triliun dana Otsus disalah gunakan sepanjang 2002-2010 dari total Rp 28,842 triliun.
“Artinya ada penggunaan yang belum optimal dan masalah tata kelola yang perlu di evaluasi, terutama realisasi anggaran agar tepat sasaran. Pengawasan perlu diperketat, terutama fokus penggunaannya untuk mendukung perbaikan kesehatan dan pendidikan di Papua,” tambah Arjuna
Arjuna mengungkapkan, realisasi APBD untuk sektor pendidikan dan kesehatan masih sangat rendah. Belanja pendidikan dan kesehatan, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, masih sangat rendah. Belanja pendidikan masing-masing tercatat hanya 13,8% dan 14,33% dari APBD sementara belanja kesehatan 8,7% dan 7,6%.
“Kualitas belanja dari dana Otsus perlu mendapat perhatian, di mana harus dipastikan, dana Otsus yang digelontorkan, dialokasikan ke sektor-sektor yang menjadi fokus sasaran dana Otsus seperti Pendidikan, Kesehatan, dan pengentasan kemiskinan,” papar Arjuna.
Untuk itu bagi GMNI, terangnya, pengawasan terkait penggunaan dana Otsus Papua perlu diperkuat, mengingat, banyaknya temuan BPK terkait pemborosan anggaran oleh Pemda, markup dalam pengadaan tenaga surya, dan indikasi kelebihan bayar. Sehingga, dana Otsus benar-benar dirasakan oleh masyarakat Papua, bukan justru menciptakan ketimpangan sosial akibat manfaat dari dana Otsus, hanya menguntungkan segelintir elite lokal semata (Elite Capture).
“Pengawasan yang ketat diperlukan agar tidak terjadi fenomena Elite Capture, di mana fungsi alokasi dan distribusi APBD didominasi hanya untuk kepentingan elite semata. Sedangkan dampak pada pelayanan publik sangat minim,” tutup Arjuna.