Opini  

Globalisasi dan Pengaruh Negatif dalam Pembentukan Karakter Anak Muda Bangsa

Globalisasi memengaruhi karakter anak muda; teknologi dan budaya digital menggeser nilai, identitas, dan etos kerja remaja.
Arya Bima Wicaksana. (Foto: Dok. Pribadi)

Opini, Semartara.News — Globalisasi adalah arus deras yang tidak mungkin dibendung. Ia menembus batas negara, melarutkan jarak budaya, dan memunculkan gaya hidup baru yang mudah diserap oleh siapa pun—terutama generasi muda. Di satu sisi, globalisasi menghadirkan kemajuan teknologi, pertukaran pengetahuan, dan peluang ekonomi. Namun di sisi lain, ia membawa tantangan serius pada pembentukan karakter generasi muda Indonesia. Dalam derasnya arus informasi, budaya populer, dan tren digital, nilai-nilai lokal justru semakin terpinggirkan. Dampak globalisasi tidak selalu terlihat seketika; ia bergerak perlahan, tetapi meninggalkan pengaruh yang mendalam pada pola pikir, sikap, dan perilaku anak muda.

Tanpa penyeimbang berupa pendidikan karakter, literasi digital, dan penguatan budaya nasional, globalisasi berpotensi menimbulkan masalah baru: perubahan perilaku, pergeseran nilai moral, lemahnya identitas bangsa, kecanduan teknologi, hingga merosotnya etos kerja.

Perubahan Pola Perilaku dan Gaya Hidup: Dari Koneksi Menjadi Individualisme

Kemajuan teknologi membuat anak muda terhubung ke budaya dunia. Namun keterhubungan ini tidak selalu berarti kedekatan sosial. Remaja yang sedang mencari jati diri lebih mudah terpengaruh oleh tren visual, gaya hidup, maupun ideologi populer. Saat perhatian mereka terpusat pada dunia digital, hubungan sosial di dunia nyata justru melemah. Interaksi beralih dari percakapan langsung menjadi sekadar komentar dan pesan singkat.

Perusahaan-perusahaan global turut memanfaatkan ruang digital untuk memasarkan produk, menciptakan tren, dan mempengaruhi gaya hidup remaja. Akibatnya, anak muda lebih sering melihat, meniru, dan kemudian mengonsumsi gaya hidup global tanpa mempertimbangkan nilai budaya lokal. Pola hidup konsumtif pun meningkat: membeli demi tren, bukan kebutuhan; mengikuti gaya luar, bukan identitas sendiri. Dari sinilah benih individualisme dan pola hidup hedonis mulai berkembang.

Pergeseran Nilai Sosial dan Moral: Ketika Kesopanan Menjadi “Kuno”

Keterbukaan budaya bukan hanya memperkenalkan keberagaman, tetapi juga menggeser nilai moral. Ketika budaya luar diterima tanpa filter, nilai kesopanan, etika berkomunikasi, serta penghormatan terhadap orang tua mulai luntur. Ruang digital yang serba bebas membuat batas-batas etika sosial semakin kabur.

Kasus-kasus yang muncul di sekolah—misalnya siswa merokok hingga hamil di luar nikah—menandakan melemahnya kontrol moral. Belum lagi fenomena gaya berpakaian yang meniru budaya luar dan dianggap “keren”, meski tidak sesuai dengan norma kesopanan bangsa Indonesia. Semua ini merupakan bukti bahwa globalisasi dapat menjadi ancaman jika tidak diimbangi dengan penguatan nilai budaya.

Identitas Bangsa: Terseret Standarisasi Budaya Global

Globalisasi menciptakan satu fenomena baru: standarisasi budaya. Gaya berpakaian, selera musik, cara berbicara, hingga preferensi hiburan semakin seragam di seluruh dunia. Remaja Indonesia kini dapat mengakses budaya Korea, Amerika, Jepang, hingga Eropa hanya melalui gawai mereka. Pada satu sisi ini memperluas wawasan, tetapi pada sisi lain melemahkan rasa kebangsaan.

Ketika remaja lebih mengenal budaya asing daripada sejarah bangsanya sendiri, ketika mereka merasa lebih bangga dengan identitas global daripada identitas nasional, maka di situlah karakter kebangsaan sedang mengalami krisis. Tanpa pendidikan karakter, literasi budaya, serta pemahaman sejarah, identitas bangsa dapat terkikis oleh transnasionalisme yang diserap tanpa disadari.

Kecanduan Teknologi dan Media Sosial: Ancaman Baru bagi Ketahanan Mental

Ketergantungan pada media sosial bukan hanya mengganggu waktu belajar atau produktivitas, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental dan kemampuan sosial. Anak muda yang terlalu banyak menghabiskan waktu dengan gim, konten hiburan, dan media sosial cenderung memiliki:

  • Kemampuan komunikasi langsung yang menurun
  • Empati dan sensitivitas sosial yang melemah
  • Daya ingat dan konsentrasi yang terganggu
  • Kecenderungan mengikuti tren tanpa berpikir kritis

Kehadiran konten negatif seperti pornografi, ujaran kebencian, hoaks, dan kekerasan emosional juga menggerus ketahanan mental generasi muda. Tanpa pengawasan, teknologi yang seharusnya menjadi alat belajar dapat berubah menjadi sumber kerusakan karakter.

Penurunan Etos Kerja dan Disiplin: Budaya Instan Menggantikan Ketekunan

Di era digital, gaya hidup “serba cepat” sering disalahartikan sebagai cara mudah meraih kesuksesan. Fenomena influencer, viral challenge, dan peluang menjadi selebgram membuat sebagian anak muda terjebak pada pola pikir instan. Mereka ingin hasil tanpa proses, terkenal tanpa usaha, dan kaya tanpa kerja keras.

Padahal, karakter bangsa dibangun dari ketekunan, disiplin, dan kerja keras—nilai-nilai yang mulai terpinggirkan oleh budaya digital. Jika generasi muda terbiasa dengan kemudahan semu, maka daya juang mereka akan semakin rendah. Ini berbahaya bagi masa depan bangsa yang membutuhkan generasi berkarakter kuat, bukan generasi yang hanya mengejar popularitas sesaat.

Penutup: Menjaga Generasi Muda dari Arus Globalisasi

Globalisasi bukanlah musuh, tetapi ia membutuhkan penyeimbang. Tantangannya bukan menghentikan arus global, melainkan memastikan generasi muda tidak hanyut kehilangan jati diri. Indonesia membutuhkan strategi yang lebih kuat—pendidikan karakter, penguatan budaya lokal, literasi digital yang bijak, dan teladan moral di lingkungan keluarga maupun sekolah.

Karakter bangsa tidak lahir dari teknologi, tetapi dari nilai, kebudayaan, dan kesadaran diri. Jika generasi muda mampu memanfaatkan globalisasi tanpa kehilangan identitas, maka arus global bukan hanya menjadi ancaman, melainkan peluang untuk melahirkan generasi yang cerdas, berkarakter, dan tetap berkepribadian Indonesia.

Penulis: Arya Bima Wicaksana
Mahasiswa Prodi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

Tinggalkan Balasan