Opini, Semartara.News – Ada satu pemandangan yang kini terasa sangat akrab di sekitar kita: anak-anak duduk membungkuk menatap layar, remaja berjalan sambil menggulir smartphone, mahasiswa yang lebih cepat bereaksi pada notifikasi ketimbang suara orang tua atau dosen. Mereka inilah yang kini disebut generasi swipe—generasi yang membentuk dunia dan membiarkan dunia membentuk mereka melalui satu gerakan sederhana: menggeser layar.
Teknologi digital, yang awalnya dirancang sebagai alat bantu, telah berubah menjadi ruang hidup. Di dalam ruang itu, segala hal hadir serba cepat: hiburan, informasi, interaksi, sekaligus ancaman moral yang tidak pernah dialami generasi sebelumnya. Salah satu ancaman paling besar dan paling senyap adalah judi online.
Fenomena ini tidak lagi sekadar kasus individual; ia menjelma menjadi penyakit sosial yang menyeret banyak remaja dan mahasiswa ke dalam lingkaran kecanduan, utang, kebohongan, bahkan kriminalitas. Yang lebih mengkhawatirkan, semua ini berjalan di tengah pudarnya nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi pemandu moral bangsa.
Ketika Judi Online Menyelinap ke Dalam Saku Anak
Dalam dua tahun terakhir, grafik kasus judi online di kalangan anak dan remaja naik drastis. Laporan KPAI mencatat ratusan ribu anak telah terpapar praktik ini—angka yang cukup untuk membuat kita sadar bahwa masalah ini bukan sekadar “kecanduan game”, tetapi tanda darurat bagi moral generasi.
Dengan gawai pribadi yang nyaris tak pernah lepas dari tangan, anak-anak hari ini memiliki jalur akses langsung menuju berbagai bentuk perjudian digital. Ironisnya, semuanya dibungkus rapi sebagai game, tournament, atau permainan seru yang sering muncul sebagai iklan di platform media sosial, lengkap dengan iming-iming “cuan cepat”.
Kasus-kasus yang muncul di berita mengiris hati:
Pelajar SMP mencuri uang tabungan orang tua.
Mahasiswa menggadaikan laptop kuliah.
Remaja menumpuk utang hingga jutaan rupiah demi mengejar “kemenangan besar”.
Semua bermula dari satu klik kecil, satu ajakan dari teman, atau satu konten TikTok yang menormalisasi perjudian sebagai hiburan keren. Dan setelah itu, mereka terseret masuk dalam algoritma yang dirancang bukan untuk mendidik, tetapi untuk membuat kecanduan.
Inilah wajah baru krisis moral: sunyi, tidak kasat mata, tetapi menghancurkan masa depan pelan-pelan.
Di Mana Moral Saat Layar Menjadi Segalanya?
1. Normalisasi Perilaku Menyimpang
Generasi swipe hidup dalam budaya yang memuja kecepatan dan kepuasan instan. Judi online pun tampak seperti permainan biasa—bahkan sering dianggap cara pintar untuk “dapat uang tanpa kerja”. Normalisasi ini menjadi tanda bahwa batas moral mulai kabur.
2. Hilangnya Pengendalian Diri
Notifikasi, bonus top-up, dan reward harian menciptakan sistem yang memicu impulsivitas. Remaja tumbuh tanpa kemampuan kontrol diri yang kuat, karena teknologi selalu mengakomodasi keinginan untuk hal instan.
3. Literasi Digital Moral Masih Rendah
Mereka mungkin mahir membuat konten, tapi belum tentu memahami konsekuensi moral dari tindakan digital. Pengetahuan teknis jauh meninggalkan pemahaman etik.
4. Krisis Identitas Moral
Ketika validasi datang dari likes, followers, dan jackpot, nilai moral jangka panjang menjadi tidak relevan. Mereka cenderung mencari kebahagiaan cepat dibanding makna hidup yang lebih dalam.
Krisis ini bukan hanya soal perilaku salah; ini soal hilangnya kompas moral dalam diri generasi muda.
Ketika Pancasila Semakin Samar di Era Digital
Fenomena judi online memperlihatkan bagaimana nilai-nilai Pancasila terkikis dalam kehidupan generasi muda.
• Sila Kedua – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kecanduan judi online merusak martabat dan kesehatan mental. Remaja kehilangan kontrol diri, rasa bersalah menghantui, dan identitas moral runtuh.
• Sila Ketiga – Persatuan Indonesia
Konflik keluarga muncul akibat utang judi. Hubungan retak, kepercayaan hancur. Persatuan terkikis dari lingkup terkecil: rumah.
• Sila Kelima – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Judi online merampas masa depan pendidikan anak. Ia menciptakan ketidakadilan struktural bagi keluarga yang harus menanggung kerugian finansial besar.
Di titik inilah kita melihat bahwa ancaman moral bukan hanya persoalan individu, melainkan persoalan ideologi bangsa.
Saatnya Reaktualisasi Pancasila di Dunia Digital
Jika generasi swipe hidup di dunia digital, maka nilai moral pun harus hadir di dunia yang sama.
1. Pancasila sebagai Kompas Moral Digital
Nilai empati, keadilan, persatuan, dan tanggung jawab sosial harus diterjemahkan dalam bahasa digital—bukan hanya dihafal, tetapi dihayati dalam kebiasaan bermedia.
2. Pendidikan Moral yang Relevan dengan Dunia Anak Muda
Ceramah panjang tidak akan mampu bersaing dengan TikTok. Pendidikan moral harus memakai visual, humor, storytelling, dan konten kreatif yang menyentuh pengalaman mereka sehari-hari.
3. Kolaborasi Tiga Pilar: Keluarga, Sekolah, Platform Digital
Tanpa kerja sama, solusi akan pincang. Orang tua perlu memahami pola digital anak; sekolah wajib memperkuat literasi moral digital; platform digital harus menyediakan pengamanan lebih kuat terhadap konten berbahaya.
Rekomendasi Solusi yang Bisa Dilakukan Kini
- Penguatan literasi digital moral melalui diskusi kasus nyata dan simulasi bahaya judi online.
- Kampanye digital anti-judi online dengan influencer edukatif yang dekat dengan gaya bicara remaja.
- Regulasi tegas pada iklan judi terselubung di media sosial.
- Program “Pancasila Digital” berisi konten kreatif tentang nilai-nilai kebangsaan di kehidupan sehari-hari.
- Pengawasan orang tua berbasis dialog, bukan hanya kontrol aplikasi.
Penutup: Menjaga Moral di Tengah Derasnya Swipe
Kecanduan judi online adalah refleksi jernih dari krisis moral generasi swipe—generasi yang hidup dalam kecepatan teknologi tetapi kehilangan arah moral. Jika nilai Pancasila dibiarkan semakin memudar, maka masa depan bangsa akan ditentukan oleh generasi yang terbiasa mengambil jalan pintas dan mengabaikan konsekuensi moral.
Di era teknologi supercanggih, nilai moral tidak boleh menjadi fitur usang. Justru di tengah derasnya arus digital, Pancasila harus menjadi jangkar yang meneguhkan arah hidup generasi muda.
Karena pada akhirnya, teknologi memang penting.
Tetapi karakter—itulah yang menentukan masa depan sebuah bangsa.
Penulis: Melany Revalina – Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pancasila, Ilmu Komunikasi, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Untirta. (*)







