Jakarta, Semartara.News – Layanan streaming Netflix menampilkan film “Fatherhood” yang mengisahkan tentang tentang perjalanan Matt Logelin (Kevin Hart) menjadi ayah tunggal yang harus membesarkan putrinya (Maddy) setelah ditinggal mati istrinya.
Film adaptasi buku memoar “Two Kisses For Maddy” karya Matthew Logelin itu sudah terasa mengharu biru sejak awal. Meski demikian, sosok Hart yang jenaka tetap diperlihatkan sepanjang Logelin bergelut membesarkan bayi Maddy sambil harus tetap bekerja.
Sejatinya, Film “Fatherhood” adalah kisah nyata dari Matthew Logelin, yang menuliskan kisahnya menjadi ayah tunggal lewat blognya setelah ditinggal mati sang istri akibat emboli paru-paru beberapa saat setelah melahirkan putri mereka, Madeline (Maddy). Logelin menulis blog sebagai terapi penyembuhan dirinya, namun kisahnya di blog itu lantas menarik perhatian banyak orang.
“Fatherhood” dibesut sedemikian rupa oleh Paul Weitz, pakar sutradara untuk film-film ayah-anak, yang pernah sukses lewat “American Pie” (1999) dan “About a Boy” (2002) menjadi sebuah film keluarga yang hangat.
Namun demikian, ada beberapa catatan, untuk sebuah film yang semangatnya menormalisasi figur ayah untuk turut momong anak, rasanya Weitz terlalu menggampangkan jalan Matt Logelin berjibaku membesarkan putri kecilnya.
Satu-satunya kesusahan Logelin di luar pergulatan hati antara meyelaraskan pekerjaan dan memprioritaskan anak hanya sekedar kesulitannya membangun boks bayi, memasang car seat, melipat stroller dan mengganti popok.
Jika membayangkan sosok orang tua tunggal yang bekerja, akan terbayang kerepotan luar biasa mulai dari urusan finansial sampai menyelaraskan kewarasan diri dan performa di tempat kerja.
Terlepas dari film merupakan adaptasi memoar seorang Project Manager di Yahoo, yang ceritanya memang sudah terbangun, namun di tangan Weitz, jalan Logelin kerap dimudahkan.
Dimulai dari saat Logelin melakukan presentasi sambil membawa bayi Madeline ke tempat kerja, dia sempat kewalahan saat sang bayi Maddy mengalami kolik dan harus dia harus menenangkan bayi sambil tetap melanjutkan presentasi kepada sejumlah klien potensial.
Lumrahnya, di film-film yang bintang utamanya perempuan, kisahnya biasanya akan lebih rumit dan menyedihkan.
Dalam skenario yang sama, seorang tokoh perempuan biasanya akan lebih dipersulit entah dengan klien yang nyinyir dan akhirnya presentasinya berantakan sampai kemungkinan dia dipecat.
Namun Weitz, justru merayakan pria yang momong anak dengan tepuk tangan, para klien yang terkesima dengan kerelaan Logelin momong bayi sambil kerja justru akhirnya memberikan tips menenangkan bayi alih-alih nyinyir.
Bahkan, bos Logelin yang awalnya terasa seperti sosok antagonis, pada akhirnya juga digambarkan berhati malaikat menghadapi sosok ayah yang kerja sambil momong dengan memberinya opsi rehat dan mengurusi diri alih-alih memecatnya saat Logelin mengacaukan presentasi.
Tak hanya itu, bagi seorang ayah tunggal, perjalanan Logelin di film Witz dalam menemukan cinta baru tergolong tanpa aral. Liz, terlepas dari namanya yang sama dengan mendiang istri Logelin, digambarkan sebagai perempuan yang legowo dan menerima kondisi Logelin.
Maddy-pun langsung jatuh hati pada sosok Liz. Bahkan setelah Logelin mendorong Liz pergi dari kehidupannya karena takut prioritasnya bergeser dalam membesarkan Maddy, Liz sangat lapang dada atas sikap Logelin.
Bagaimanapun, Hart tetap patut diapresiasi karena sudah membawa nuansa baru dalam film yang sejatinya akan diperankan oleh Channing Tatum.
Pada 2015, awalnya Sony mengumumkan tengah mengembangkan film berdasarkan kisah di blog Matthew Logelin dengan Tatum sebagai bintang utama. Namun proyek itu lantas terbengkalai sampai akhirnya Kevin Hart membaca naskah Dana Stevens dan memutuskan ikut terlibat dalam proyek sebagai aktor sekaligus produser.
Hart, dengan segala kelucuannya memberi warna baru pada kisah seorang ayah berkulit putih yang bekerja di bidang TI dengan menghadirkan sosok khas ayah berkulit hitam.
Sosok ayah dalam film Hollywood, apalagi yang mengupas hubungannya dengan anak perempuan memang bisa dihitung jari. Salah satu yang sukses bisa saja hanya “Pursuit of Happyness” (2006) dan “Fences” (2016), namun semuanya dikisahkan dengan narasi yang terlewat pilu.
Sementara Hart lewat “Fatherhood” membawa kesegaran relasi ayah-anak dengan gaya khas bapak-bapak kulit hitam Amerika Serikat yang membuat fil lebih enak ditonton dan meghibur.
Selain mengangkat tema ayah tunggal, meski rasanya belum menormalisasi peran ayah yang juga harus momong anak, film juga mengusung tema lain yang menarik seperti mengangkat isu cara berpakaian yang berdasarkan gender di mana Maddy menapat bully-an hanya karena dia enggan pakai rok ke sekolah.
“Fatherhood” menyoroti bahwa anak-anak sewajarnya dibebaskan memilih jenis pakaian yang membuat dia nyaman alih-alih tunduk pada aturan tertentu misalnya aturan berdasarkan gender bahwa anak laki-laki wajib pakai celana dan anak perempuan harus pakai rok.
Hal terpuji lain dari film adalah hubungan Matt dan Maddy yang tak terelakkan lagi memancarkan hubungan kasih ayah-anak.
Meski demikian, hendaknya produk-produk populer seperti film mulai menunjukkan kewajaran bahwa ayah yang bekerja juga punya tugas membesarkan anak.
Masyarakat harus mulai menormalisasi peran ayah yang juga momong bayi meski bekerja. Bukankah membesarkan anak itu sejatinya kewajiban kedua orang tua?