Emrus: Capres Petahana Gunakan Politik Gotong Royong Bukan ‘Babat Alas’

SEMARTARA – Capres Petahana sama sekali bukan menggunakan politik ‘babat alas’, melainkan strategi politik Gotong Royong. Demikian disampaikan Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, dalam rilis singkat yang diterima Semartara.com, Jumat (9/11).

Menurut Emrus, pandangan Hendri Satrio yang menilai capres petahana, yakni Joko Widodo (Jokowi) menggunakan strategi ‘babat alas’, sebagaimana diberitakan detik.com pada Kamis (8/11) kemarin, belum disertai sajian data yang jenuh, mendalam, dan komprihenship. Bahkan kata Emrus, belum tampak pula bangunan argumentasi yang kukuh.

“Mengapa demikian? Mari kita lihat data dan argumentasi yang tersedia,” ajaknya.

Ia menguraikan, ada dua pandangan Hendri Satrio pada berita tersebut yang tampaknya belum sejalan antara satu dengan yang lainnya.

Berikut ini dua kutipan langsung pandangan Hendri Satrio, dalam berita yang dimuat media tersebut.

Pertama. “Bergabungnya tokoh-tokoh penting ke kubu Jokowi ini ibaratnya persaingan dua tim sepakbola. Tim sepakbola yang satu ini merekrut semua pemain terbaik supaya semata-mata tim lain tidak memiliki tim yang bagus, sehingga mudah dikalahkan,” kata Hendri.

Dari kutipan di atas, lanjut Emrus, terlihat jelas bahwa tokoh-tokoh tersebutlah yang aktif ingin bergabung atas kesadaran sendiri, lalu direkrut. Yusril Ihza Mahendra, misalnya, sebagai tokoh yang punya independesi mengambil keputusan untuk bergabung.

Kedua. “Akhirnya semua direkrut, semua diminta mendukung, termasuk sosok Yusril dan PBB-nya,” lanjut Hendri.

Kata Emrus, pada kutipan kedua ini menyebutkan semua diminta untuk mendukung. Pilihan diksi ‘diminta’ seolah-olah Capres Petahana yang aktif. Menyebutkan ‘diminta’ mendukung, sambung Emrus, sulit diterima akal sehat. Mana mungkin seorang tokoh seperti Yusril Ihza Mahendra bisa dengan mudah menuruti permintaan calon petahana.

Sebab, menurutnya, Yusril Ihza Mahendra, aktor sosial yang mempunyai kehendak bebas secara otonom. Berdasarkan uraian di atas, lanjutnya, maka lebih tepat disebut bahwa Capres Petahana menerapkan strategi Politik Gotong Royong. Sama sekali belum cukup kuat bila dikonsepkan sebagai ‘babat alas’.

Pada bagian lain, masih di berita yang sama,  memuat kutipan langsung dari Hendri Satrio. “Misal merekrut semua media yang ada, …”.

Lagi-lagi pada kutipan ini, lanjutnya, memposisikan media sebagai yang bisa dengan mudah direkrut oleh petahana. Padahal menurutnya, setiap media yang kredibel punya kebijakan redaksional dengan jelas dan tegas, yang membuat media itu bisa bersikap independent.

“Independen artinya, media harus berani mengambil sikap dan posisi yang berpihak kepada kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Hal ini pernah dilakukan ketika Pers kita turut berjuang dalam kemerdekaan,” tuturnya.

Sebagai sebuah institusi sosial, ditegaskan Emrus, media memiliki kehendak bebas untuk berpihak kepada yang terbaik. Karena itu, dalam suatu kontestasi politik,  seperti dalam rentang masa kampanye,  media bisa saja mengambil garis yang jelas terhadap salah satu kekuatan politik sepanjang itu diyakini sebagai sesuatu yang mampu membuat perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

“Biasanya garis keberpihakan itu dinarasikan dalam isi tajuk rencananya,” tandas Emrus. (Helmi)

Tinggalkan Balasan