Dua Sisi, ‘Berangkas’ Uang dan Kata Prihatin Bantargebang

Bantargebang
Seorang pemulung memungut dan memilah sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (7/5/2019). Sampah-sampah tersebut dipilah kembali oleh pemulung karena masih bernilai ekonomis. (Foto - Antara)

Stigma Prihatin

Pemulung sampah plastik anak buah Iboh tengah beristirahat di gubuk sampah Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. (Foto – Antara)

Bila melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi pada 2019, sampah hanya sebagian kecil dari potensi ekonomi yang ada di wilayah berpopulasi 126.157 jiwa itu.

Kepala BPS Kota Bekasi Annazri mengemukakan sektor lainnya adalah produksi tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar hingga kacang tanah dengan hasil produksi 4.595 ton per tahun.

Selain itu produksi buah-buahan dengan jumlah hasil panen 6.786 ton per tahun. Hasil daging ternak dan unggas 618 ton per tahun serta ikan mencapai 26.682 ton per tahun.

Bantargebang sebenarnya memiliki potensi ekonomi di atas rata-rata 11 kecamatan lainnya di Kota Bekasi, namun mengapa stigma prihatin hingga kini identik dengan kondisi sosial masyarakat di sana?

Tokoh masyarakat Bantargebang Komarudin mengungkapkan sebagian masyarakat di Bantargebang saat ini mengalami psikososial atau ketergantungan terhadap donasi.

“Sekarang coba anda turun dari mobil dengan menjinjing kantong kresek di sekitar tempat sampah, pasti mereka akan berkerumun dan menyangka itu bantuan. Kondisi seperti ini yang menurut saya semacam psikososial di sini,” katanya.

Donasi untuk warga Bantargebang tidak hanya dikumpulkan lewat aktivis sosial yang berkecimpung di LSM lokal ataupun asing, namun juga datang dari pemerintah lewat kompensasi bau sampah.
 
“Saya tidak setuju dengan cara-cara donasi memotret anak-anak pemulung yang tidak optimistis pada masa depan lalu disebar hingga penjuru dunia. Teman dari Non Governmnet Organization  (Lembaga Swadaya Masyarakat/ LSM) berkepentingan menjadikan anak pemulung sebagai komoditas donasi saja,” katanya.

Selain itu, kompensasi bau melalui bantuan tunai rata-rata senilai Rp32 miliar per tahun dari pemerintah belum dikelola secara optimal oleh warga. “Biasanya uang hasil memulung sampah, bantuan pemerintah dan lainnya dia pakai untuk belanja yang tidak penting di mal,” katanya.

Padahal bila besaran dana kompensasi bau per kepala keluarga Rp900 ribu setiap tiga bulan dipakai membeli mesin pengolah sampah, kata Komarudin, warga bisa meningkatkan taraf hidup.

Solusi untuk menghapus stigma prihatin di Bantargebang adalah dengan menghentikan eksploitasi kemiskinan serta meningkatkan kualitas pendidikan.

Bantargebang saat ini memiliki total 61 sekolah tingkat SD hingga SMA/SMK. Namun dari total 30.474 penduduk usia pelajar, hanya 11.000 jiwa di antaranya yang memanfaatkan fasilitas sekolah negeri maupun swasta untuk mengenyam pendidikan. Sisanya berprofesi sebagai pemulung, peternak atau berkebun.

Mayoritas anak putus sekolah, kata Komarudin, dikarenakan para pendatang dari luar daerah yang tidak memiliki ijazah untuk bekerja di perusahaan.

“Anak-anak di sini lebih baik  mulung sampah daripada harus belajar di sekolah. Makanya kita butuh yang namanya sekolah keliling. Guru datang ke rumah-rumah siswanya dan mengajar. Kalau mau serius, coba berangkatkan warga saya dengan beasiswa ke luar negeri untuk menjadi pakar persampahan,” katanya.

Stigma prihatin tidak seharusnya melekat pada warga Bantargebang jika berkaca pada potensi lingkungan yang ada. Dibutuhkan perspektif yang sama terhadap peluang yang kini berhasil digarap oleh Iboh. Sampah adalah berkah, bukan masalah.

Tinggalkan Balasan