Dua Sisi, ‘Berangkas’ Uang dan Kata Prihatin Bantargebang

Bantargebang
Seorang pemulung memungut dan memilah sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (7/5/2019). Sampah-sampah tersebut dipilah kembali oleh pemulung karena masih bernilai ekonomis. (Foto - Antara)

Jakarta, Semartara.News – Kisah pemulung sampah beromzet sampai ratusan juta rupiah memang nyata ditemukan di Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. Meski  mereka berstatus jutawan, namun di sisi lain, stigma prihatin masih melekat dengan kehidupan sosial masyarakat di sana.

Iboh (41), merupakan salah satu contohnya.   Warga  RT01 RW02 Kelurahan Sumur Batu, Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat ini  mampu meraih pendapatan Rp136 juta rupiah dari hasil menjual rata-rata 200 ton sampah plastik per bulan. Angka itu dengan mudah bisa didapat oleh pria yang bernama lengkap Ibrohim ini.

Kelurahan Sumur Batu sendiri saat ini merupakan salah satu dari tiga kelurahan di Kecamatan Bantargebang yang menjadi lokasi timbunan sampah dengan volume mencapai 39 juta meter kubik.

Lahan seluas total 110,3 hektare di lokasi itu diperuntukkan sebagai Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Di sana rata-rata 7.700 ton sampah warga Jakarta dibuang setiap hari.

Hasil studi terakhir yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada 2017 dilaporkan komposisi sampah plastik TPST Bantargebang masih mendominasi sebanyak 35,28 persen atau setara 13,7 juta ton.

Bagi pria 40 tahun itu, sampah plastik yang terselip di antara sampah organik dan residu di perbukitan sampah setinggi 15-20 meter merupakan tambang uang untuk siapa saja yang mau melihat sampah sebagai berkah, bukan masalah.

Iboh bersama 32 anak buahnya yang direkrut dari Banten mengumpulkan setidaknya 200 ton sampah plastik. Mereka bekerja delapan jam sehari untuk mengumpulkan sampah plastik sebanyak itu.

Saat ini belum ada standar harga sampah plastik. Nilai plastik dihitung berdasarkan permintaan pasar atas hasil olahan menjadi bijih.

Salah seorang anak buah Iboh rata-rata berpendapatan paling sedikit Rp100 ribu per hari dari hasil mengumpulkan kantong kresek, botol minuman, kemasan makanan instan, hingga perabotan rumah tangga yang sudah rusak.

“Kalau saya ngasih (harga plastik) ke anak buah itu Rp400 per kilogram. Biasanya selama delapan jam kerja, satu bocah (anak buah) terkumpul 250 Kilogram per hari. Ditimbang tiga hari sekali, terus dibayar,” katanya.

Jika dikalkulasi, Iboh sanggup memberikan nafkah kepada 32 anak buahnya setiap bulan total Rp96 juta dari sampah plastik.

Kemudian 200 ton sampah yang terkumpul dalam sebulan dijual oleh Iboh kepada Burhan seharga Rp600 per kilogram.

Burhan terkenal sebagai pengepul sampah plastik yang membuka jaringan pemulung ke sejumlah bos pengolahan bijih plastik di Bantargebang.

“Kalau untuk saya Rp40 juta sih per bulan bisa dapat dari Burhan,” kata Iboh.

Dari tangan Burhan, sampah-sampah plastik itu kemudian dipilah sesuai kualitasnya, lalu dikemas dan dibersihkan untuk dijual ke produsen bijih plastik.

Tambang Uang

Tinggalkan Balasan