Diikuti Para Caleg, Diskusi Publik PKKT Angkat Tema “Demokrasi Tanpa Korupsi”

SEMARTARA, Tangerang (3/3) – Dikusi publik bertema “Demokrasi Tanpa Korupsi” digelar di Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis, Kampung Babakan, Kelurahan Bonang, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Sabtu (3/3).

Hadir sebagai narasumber Bondan Gunawan mantan Mensekneg di era Gur Dur sekaligus pendiri Forum Demokrasi serta Sekretaris Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok; Ito Prajna Nugraha dosen filsafat; Gus Imrom Ketua GP Ansor Banten sekaligus Sekjen Ikatan Pondok Pesantren, serta Ade Irawan Koordinator ICW.

Kegiatan ini juga diikuti oleh para calon legislatif (caleg) se-Tangerang Raya, mahasiswa, serta berbagai organisasi yang ada di Tangerang. Pengasuh Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis, Ananta Wahana menjelaskan, mengingat para peserta diskusi diantaranya adalah para caleg, ia berharap, melalui kegiatan ini, para caleg yang jadi anggota dewan nantinya amanah dan tidak korupsi. Ia juga mengungkapkan, kegiatan ini juga dirangkai dengan pengenalan para caleg dari PDI Perjuangan untuk wilayah Tangerang Raya, dan launching ambulance gratis untuk masyarakat.

Ia juga menjelaskan, pihaknya sengaja mendatangkan para narasumber yang sangat kompeten, untuk memberikan pemahaman kepada para caleg yang nantinya maju dalam Pemilu 2019 mendatang, menjadi caleg yang bersih dan bebas dari korupsi.

Semantara, dalam pemaparannya, Bondan Gunawan mengaku bahwa dirinya adalah orang yang tidak pernah bepartai, dan tidak pernah nyoblos ke TPS setiap kali Pemilu. Namun demikian, hadapan para caleg, Bondan juga menegaskan, kalau ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif jangan pernah berfikir menjadi orang kaya, dan harus berani mewakafkan dirinya.

“Kalau tidak mampu, mendingan mengundurkan diri saja menjadi Caleg,” tegas Bondan Gunawan.

Lebih luas, Bondan menggambarkan bahwa pemimpin yang benar tidak akan memasuk istana (pemimpin negara yang ikut dalam pencapresan-red) dengan kekayaan. Artinya, ia berpolitik dengan bersih tanpa money politic. Namun jika itu adalah sebaliknya, kata adik salah seorang pahlawan revolusi Brigjen Katamso tersebut, tidak menutup kemungkinan itu adalah pencuri yang terhormat.

“Wakil rakyat jangan main-main mengatasnamakan pembentuk bangsa, jika berfikir seperti itu dan tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, dosanya 7 kali lipat. Jangankan harta benda, nyawa juga harus dikorbankan, harus lilahitaalla. Kalau jadi wakil rakyat tidak siap menderita, itu jangan!” Tandasnya.

Bicara soal demokrasi sendiri, Ito Prajna Nugroho mengungkapkan bahwa demokrasi dimulai sebagai sebuah tata kelola negara kota, atau polis, di Atena Yunani, yang kemudian ini menjadi awal demokrasi. Tujuannya sendiri, kata Ito, untuk mengantisipasi ancaman seperti anarki yang bisa mengacaukan politik, serta menghindari tirani atau kesewenang-wenangan.

Bicara soal hal ini, kata Ito bahaya yang paling besar mengancam demokrasi di Indonesia adalah kleptokrasi, yaitu mencuri. Ini bisa menjadi benalu, yang mengarah pada korupsi. Korupsi sendiri adalah efek dari kleptokrasi.

“Kelptokrasi itu tidak ada ubahnya dengan copet, begal, perampok dalam birokrasi. Kalau didiamkan, dalam 10 tahun ke depan habis sudah Indonesia. Biar tidak klepto, demokrasi politik harus beriringan dengan politik ekonomi. Keberesan sistem negara harus beriringan dengan keberesan rizki. Amanat demokrasi adalah mengutamakan kesetaraan ekonomi. Korupsi sebagai efek dari kleptokrasi akan mengecil,” bebernya.

Koordinator ICW, Ade Irawan dalam materinya, mengatakan, korupsi bisa merusak demokrasi. Korupsi terjadi karena kurang kontrolnya birokrasi. Dalam hal ini, kata Ade, DPRD paling banyak jadi pasien KPK, dan dalam beberapa tahun ini pihaknya menemukan sebanyak 25 menteri ditahan karena korupsi.

Kondisi ini disebabkan, diantaranya karena penyalahgunaan anggaran negara, yaitu APBD banyak tidak digunakan untuk masyarakat, tapi untuk kepentingan politik. Faktor utama korupsi adalah karena kuasa uang yang paling besar. Ia juga mencontohkan, pemilihan lurah saja, di Tangerang, bisa sampai Rp3 miliar. Begitu pun dalam Pileg atau Pilkada. Semua itu menurut Ade, diantaranya penyebabnya karena rekrutmen politik sangat mahal.

“Tapi pertanyaannya, apakah benar? Tapi yang membuat mahal itu adalah biaya yang haram. Problemnya, politisi yang tidak memiliki kepercayaan diri merusak sistem demokrasi yang benar. Yang ketangkap, yang apes, tapi masih banyak lagi yang seperti itu (koruptor-red). Seleksi yang dilakukan partai menjadi rusak ketika yabg dipilih adalah mereka yang punya uang, bukan yang memikiki intergrasi dan baik. Itu yang membuat banyak kepala daerah dan legislatif yang tertangkap KPK, karena seperti itu (koruptor-red),” ungkapnya.

Saat ini, kata Ade politik uang sudah canggih, karena pihaknya menemukan ada yang menggunakan sistem pasca bayar, yaitu memberikan bukti setelah memilih kepada kandidat untuk mendapatkan imbalan, dan ini menjadi temuan ICW.

“Yang perlu diwaspadai, tidak hanya pemilih tapi juga penyelenggara. Sebagai contoh, partai yang tidak punya saksi suaranya diambil alih; banyak suara yang hilang di tengah jalan. Temuan kami ada 72 penyenggara yang ditangkap,” tukasnya. (Widi)

Tinggalkan Balasan