Banten, Semartara.News — Siapa yang tidak kenal Debus? kesenian tradisional asli Banten yang menampilkan atraksi kekebalan tubuh manusia dari macam-macam benda tajam.
Memang bagi sebagian masyarakat awam, debus terbilang sangat ekstrem dan kesenian ini tidak ada dijumpai di belahan dunia manapun.
Dalam atraksi debus kerap kali menampilkan pemainnya menguyah pecahan kaca atau beling, berjalan di atas bara api, menusuk perut dengan golok dan menusuk lidah dengan jarum.
Tentu tidak semua orang Banten bisa Debus, hanya bagi mereka yang sudah terlatih saja yang melakukan atraksi tidak lazim itu, dan para pemainnya tidak terlihat kesakitan.
Dalam atraksi debus tidak saja menampilkan soal kekebalan tubuh, namun juga ada seni tari dan suara serta kebatinan bernuansa magis.
Kesenian debus dihidupkan oleh padepokan atau sanggar silat, akan tetapi tidak semua sanggar silat menggarap kesenian asli Banten ini.
Debus dan silat memang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Silat menjadi cikal bakal debus yang merupakan salah satu tahapan tertentu dalam kesenian tersebut.
Setiap pemain debus sudah pasti pesilat, namun tidak setiap pesilat adalah pemain debus.
Sejarah Debus
Debus dalam bahasa Sunda berarti tembus juga dalam bahasa Arab berarti senjata tongkat besi dengan ujung runcing berhulu bundar.
Debus lebih dikenal sebagai kesenian asli masyarakat Banten yang berkembang sejak abad ke-18.
Bermula sejak abad ke-16, pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin dari Banten (1532-1570) debus mulai dikenal masyarakat Banten sebagai salah satu cara penyebaran agama Islam.
Pada zaman Ageng Tirtayasa (1651—1692), debus menjadi sebuah alat untuk memompa semangat juang rakyat Banten melawan penjajah Belanda pada masa itu.
Kesenian debus saat ini merupakan kombinasi antara seni tari dan suara.