Chip in with Taiwan: Peran Taiwan dalam Perdamaian dan Kemakmuran Global

Taiwan perkuat peran global lewat demokrasi, semikonduktor, dan diplomasi, meski terhambat Resolusi 2758 di PBB.
Menlu Taiwan, Lin Chia-lung (Foto: Dok. TETO)

Opini, Semartara.News — Dunia saat ini tengah menghadapi berbagai ketidakpastian dan tantangan yang semakin kompleks, mulai dari konflik berkepanjangan, kemunduran demokrasi, hingga penyebaran disinformasi secara global. Di sisi lain, rezim otoriter semakin sering menggunakan taktik “zona abu-abu” (gray-zone) yang melemahkan tatanan internasional yang berbasis aturan dan norma bersama.

Dalam situasi global yang rapuh ini, menjaga perdamaian menjadi hal yang sangat krusial. Negara-negara demokrasi perlu bersatu memperkuat ketahanan kolektif dan mempertahankan nilai-nilai fundamental yang mereka anut bersama.

Dalam konteks tersebut, Taiwan memegang peranan penting di kawasan Indo-Pasifik. Terletak di garis depan rantai pulau pertama di wilayah ini, Taiwan berfungsi sebagai benteng utama dalam menghadang ekspansi rezim otoriter.

Selain peran strategisnya, Taiwan juga memberikan kontribusi besar terhadap stabilitas dan kemakmuran regional melalui ekonomi yang kuat dan ekosistem semikonduktor yang maju. Dengan menjadi ekonomi terbesar ke-21 di dunia, Taiwan memimpin dalam pengembangan kecerdasan buatan dan produksi semikonduktor, yang mencakup lebih dari 60 persen produksi cip global dan 90 persen cip tercanggih.

Kekuatan ekonomi Taiwan tidak hanya mendorong pertumbuhan global, tetapi juga menjadikannya mitra penting dalam pembangunan di berbagai sektor. Taiwan berkomitmen untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi, baik di dalam negeri maupun dalam hubungan internasionalnya.

Pemerintahan Presiden Lai Ching-te pada tahun lalu meluncurkan Empat Pilar Perdamaian, yang mencakup peningkatan anggaran pertahanan dan penguatan ketahanan masyarakat. Taiwan tidak mencari konfrontasi dengan Tiongkok, namun tetap mendorong Beijing untuk melanjutkan dialog yang setara dan konstruktif.

Lebih jauh, Kementerian Luar Negeri Taiwan mengimplementasikan strategi “Diplomasi Terpadu” yang menggabungkan kekuatan diplomasi, pertahanan, teknologi, dan ekonomi untuk memperluas peran Taiwan di kancah internasional serta berkontribusi pada dunia yang lebih stabil dan sejahtera.

Melalui jaringan nilai demokrasi global, Taiwan memperkuat kemitraan dengan negara-negara demokrasi yang menghadapi risiko geopolitik, guna melawan pengaruh otoriter, memajukan hak asasi manusia, meningkatkan tata kelola digital, dan menegakkan tatanan internasional berbasis aturan.

Ketahanan Taiwan dalam menghadapi tekanan rezim otoriter membuktikan bahwa demokrasi mampu bertahan dan berkembang meski dalam situasi sulit.

Sebagai kekuatan ekonomi yang terus berkembang, Taiwan memimpin dalam produksi semikonduktor dan teknologi canggih, sekaligus mendorong inovasi di bidang kecerdasan buatan, digitalisasi, dan sektor kesehatan.

Untuk memperkuat posisi ini, Taiwan meluncurkan strategi diplomasi ekonomi yang menitikberatkan pada pengembangan “rantai pasok non-merah” (non-red supply chains) guna melindungi industri strategis dari intervensi rezim otoriter.

Taiwan juga aktif menginisiasi Proyek Kemakmuran Sekutu Diplomatik yang menggabungkan kolaborasi antara sektor publik dan swasta, memadukan sumber daya pemerintah dengan kekuatan industri Taiwan demi pembangunan yang saling menguntungkan.

Beberapa contoh kerja sama tersebut meliputi pengembangan sistem informasi rumah sakit terintegrasi (HIS) bersama Paraguay untuk meningkatkan manajemen data medis nasional; proyek fasilitas cadangan minyak dengan Eswatini guna memperkuat keamanan energi dan mendorong pertumbuhan industri lokal; serta membantu Palau menjadi negara kepulauan cerdas dan berkelanjutan sebagai wujud komitmen Taiwan terhadap kerja sama internasional yang berkelanjutan.

Sayangnya, meskipun memberikan kontribusi besar bagi komunitas global, Taiwan masih belum diakui secara resmi oleh sebagian besar negara dan tetap terpinggirkan dari sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ketidakadilan ini sebagian besar disebabkan oleh interpretasi yang keliru terhadap Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2758, yang sering dikaitkan dengan “Prinsip Satu China” dan digunakan oleh Tiongkok untuk menghalangi partisipasi Taiwan.

Padahal, Resolusi 2758 hanya membahas representasi China di PBB dan tidak menentukan status Taiwan. Resolusi tersebut tidak menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), maupun memberikan hak kepada RRT untuk mewakili Taiwan dalam sistem PBB.

Meski demikian, PBB masih tunduk pada tekanan politik dari Tiongkok dan menggunakan resolusi tersebut sebagai alasan untuk mengecualikan Taiwan dari komunitas internasional. Taiwan terus menyuarakan ketidakadilan ini dan mendapatkan dukungan yang semakin meluas.

Seiring meningkatnya dukungan internasional, banyak negara menegaskan pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan, baik dalam forum bilateral maupun multilateral seperti KTT G7.

Berbagai lembaga eksekutif dan legislatif di sejumlah negara juga secara terbuka menyatakan bahwa Resolusi 2758 tidak menentukan status Taiwan maupun melarang partisipasinya dalam organisasi internasional, termasuk sistem PBB.

Menjelang ulang tahun ke-80 PBB dan dengan sisa waktu lima tahun untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), sudah saatnya PBB mewujudkan visinya untuk “tidak meninggalkan siapa pun” dengan melibatkan Taiwan secara penuh.

Taiwan mengajak dunia untuk “chip in with Taiwan” — berkontribusi bersama Taiwan — dengan mengakui peran dan sumbangsih Taiwan di panggung global. Hanya melalui kerja sama yang erat, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih damai dan makmur bagi kawasan Indo-Pasifik dan dunia secara keseluruhan.

Penulis: Lin Chia-lung, Menteri Luar Negeri Republik of China (Taiwan). (*)

Tinggalkan Balasan