Tentang Cahyo Gani Saputro (CGS). Semenjak menerima kabar dari Whatsapp Group (WAG) Alumni GmnI Solo sekitar tanggal 29 Juli yang lalu, tentang bung CGS masuk Rumah Sakit, karena covid dan butuh donor darah consivalen.
Perasaan saya terus mak nyut setiap menerima kabar kesehatan “gepeng” panggilan akrab mantan sekretaris DPC GmnI Solo ini.
Selain karena urung mendapatkan jenis darah yang sesuai, seingat saya mantan BEM Unisri Solo ini juga punya riwayat penyakit yang terkait pernafasan.
Seperti berkejaran dengan waktu, akhirnya seperti yang kita semua terima, kabar duka cita itu menjadi alur pamungkas riwayat kader yang sepanjang hidupnya intens mengorganisir konsolidasi kaum Nasionalis Marhaenis, lewat berbagai payung organisasi.
GmnI, Pemuda Demokrat, KBM, ISRI, KNPI. Infeksi berat organ pernafasan akibat virus corona (entah varian apa) menjadi “lantaran” bapak dua orang putra ini menghadap sang Khalik.
Sependek ingatan, saya mulai mengenal Cahyo sekitar tahun 2003. Kalau tidak salah, dalam acara KTD (Kaderisasi Tingkat Dasar) di Tawangmangu. Untuk ukuran peserta kaderisasi “gepeng” termasuk cerewet mengkritisi berbagai hal. Dari mulai tatib acara, content materi hingga kerja panitia kena sasaran tembak.
Ketika break acara pun, ketika saya sedang nyante klesotan sembari udud lan ngopi, Cahyo ndeprok nimbrung sambil menggigit-gigit ujung batang rumput dan “dar der dor” langsung mengajukan mempertanyakan banyak hal yang menurut dia tidak pas.
Bagi saya, CGS pribadi yang gek ndang cak-cek kongrit dirampungi kalau melihat atau mendengar urusan organisasi yang tidak sreg di hatinya.
Sikap itu terus menerus ditunjukan dalam keterlibatannya secara aktif membentuk ISRI, KBM, Pemuda Demokrat Indonesia dan berbagai komunitas kaum Nasionalis Marhaenis lainnya.
Spektrum interaksinya melintasi rentang generasi, maka dapat dikatakan semacam menjadi penghubung jurang komunikasi antar generasi.
Mengomentari itu, pada satu kesempatan sembari guyon pada Cahyo pernah saya sampaikan.
“ Yo, kalo istilah Bung Karno, Proklamasi itu jembatan emas, nek kowe ki asline jembatan emas antar generasi lho”.
“Ho,oh tho mas, Kok isoh ngono? Respon Cahyo seturut senyum khasnya mengembang.
“Lha gimana enggak, yang kuat ngelakoni komunikasi sama senior-senior terus sabar nyambungin ke yunior-yunior ya awakmu” saya menimpali.
Dan ternyata pada nyambung lho lha itu ISRI, KBM bisa terbentuk di daerah.
“ya gimana lagi mas, pokoknya tak datangi, tak omongi, tak rangkul, tak ajak rembukan yo nyatane pada mau mas. Meskipun kadang yo mumet, maunya beda-beda tapi yo mengalir wae, wis pokoe rampung, jawab Cahyo sembari tertawa menyeka ujung bibirnya.
Antusiasmenya dalam berkomunikasi untuk mengembangkan jejaring organisasi bukan tanpa konsekuensi, tidak jarang resistensi dan bullying yang harus dihadapi.
Semuanya No hard feeling! dilakoni Cahyo dengan Ketulusan yang ditunjukan lewat terus menerus berkomunikasi tanpa kenal lelah dengan para pihak.
Mungkin inilah yang menjadi bahan bakar Cahyo sebagai Sekjen ISRI ini dalam mendinamisir organisasi dan membuat lintas generasi mengamini.
Maka, para kolega pasti sangat mahfum jika tiada hari tanpa postingan bung CGS di WA group, mulai dari sejarah organisasi, bentuk hingga gagasan strategi perjuangan. menjelang haul Bung Karno dan Kongres PA GmnI (yang tertunda) Juni lalu, seingat saya tulisan “Marhaenisme, Marhaenis tanpa kaum Marhaen” menjadi kontribusi terakhir pemikirannya.
Beberapa hari menjelang iedul fitri 2021, saya sempat ketemuan dengan mendiang kelahiran Solo 37 tahun lalu ini di Jakarta. Bukber tipis-tipis istilah generasi Y nya, bareng dengan salah satu senior yang banyak berbagi pengalamannya di dunia profesi.
Optimisme tentang potensi daya saing jejaring dalam dunia profesi menjadi topik yang hangat dibicarakan.
Setelah melakoni secara intensif dunia profesi setahun belakangan ini, meski sendirian dan harus berkompetisi dengan komunitas lain, CGS merasa mampu mendinamisir apalagi jika potensi jejaring diorganisir lebih baik lagi.
Selepas buka bersama (bukber) kita bubaran dan mengagendakan pertemuan kembali jika kondisi memungkinkan karena pandemi.
Siapa nyana itu menjadi pertemuan fisik saya terakhir dengan almarhum. Antusiasmenya mengorganisir potensi jejaring mengalah kepada suratan takdir usia.
Akhirnya Sabtu 31 Juli 2021 pagi itu, saya baru berkesempatan membuka handphone yang semalaman saya tak jamah, karena takziyah saudara sebelah rumah meninggal.
Beberapa misscall masuk dari kawan alumni GmnI, berdegup saya scrool beberapa WA Group, Ina lillahi wa ina ilaihi rajiun kalimat pembuka yang sering muncul selama pandemi ini menaut pada satu nama Cahyo Gani Saputro.
Ahhh mak nyut itu ternyata harus menjadi mak deg sabtu pagi ini. Aku Cuma bisa mendoakanmu frend, sembari meng-kuat- kuat-kan hati dengan mencari-cari kata bijak yang mewakili.
Mungkin ini, adalah bodoh dan salah untuk berduka atas orang- orang meninggal, sebaliknya kita harus berterima kasih kepada Tuhan bahwa orang seperti itu pernah hidup. Ya terima kasih Bung Cahyo Gani Saputro sudah berikhtiar menjadi jembatan emas lintas generasi.
Penulis, Dedy Rachmadi (Ketua DPC GmnI Kota Solo 2001-2003)