BUMN Farmasi Harus Miliki Value Creation

Jakarta, Semartara.News – Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Farmasi yang sudah tergabung dalam BUMN Holding didorong harus memiliki value creation (penciptaan nilai) yang jelas.

Hal tersebut dikatakan oleh Anggota Komisi VI DPR RI, Sondang Tampubolon. Pasalnya, praktik holdingisasi yang dilakukan BUMN harus menciptakan added value (nilai tambah) bagi negara dan masyarakat.

Pada sesi pendalaman rapat antara Komisi VI DPR dengan Holding BUMN Farmasi yang terdiri dari Bio Farma, Kimia Farma, dan Indo Farma di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020) lalu, Sondang menyayangkan pembagian tugas antara Kimia Farma yang mengurus persoalan Pharmacy dan Indo Farma dengan Phyto Pharmacy. Menurutnya, hal ini sama saja membatasi kemampuan dari BUMN tersebut.

“Jadi yang bisa saya tekankan adalah BUMN farmasi harus memiliki satu strategi bisnis yang jauh lebih besar. Jangan hanya sekedar pembatasan-pembatasan. Karena ini waktunya, kalau tidak menggunakan momentum ini ya kita sih tidak berharap ada pandemi lagi. Kita belajar dari pandemi ini bahwa kita harus memiliki satu sistem sekuriti yang jauh lebih baik di bidang kesehatan masyarakat,” terang Sondang.

Politisi PDI-Perjuangan ini menerangkan agar sebaiknya BUMN Holding Farmasi dapat menciptakan kompetisi persaingan usaha yang sehat. Untuk itu menurutnya pembatasan-pembatasan penugasan produksi yang sudah ditentukan dapat dikaji kembali.

“Kalau misalnya Kimia Farma hanya farmasi. Kemudian Indo Farma hanya phyto pharmacy, di mana persaingan atau check and balances-nya di antara BUMN-BUMN farmasi. Nah, oleh karena itu buat saya adalah bisa dibuat Kimia Farma tetap memproduksi produk farmasi, Indo Farma pun juga, tetapi bagaimana mungkin dibuat segmentasinya. Ada yang obat paten, obat generic, dan sebagainyas,” imbuhnya.

Sondang berharap para direksi dapat mengambil keputusan secara futuristik namun antisipatif dalam pembuatan roadmap kerja. ”Jadi nanti kita harapkan riset itu harus selalu dilakukan dan bagaimana nanti BUMN Farmasi ini adalah bukan untuk mengobati pasien yang sakit, tetapi bagaimana bisa meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia agar tidak mudah sakit. Harusnya seperti itu,” tukasnya.

Disisi lain, Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP lainnya, Ananta Wahana memberi pertanyaan tentang stok alat rapid test yang diimpor secara besar-besaran oleh BUMN Farmasi, tetapi ternyata terbukti tidak akurat.

“Mengapa BUMN farmasi tidak berupaya selangkah lebih maju dengan mengupayakan alat tes tipe antigen yang jauh lebih murah dari tes usap PCR, dengan tingkat akurasi tinggi,” kata Wakil Rakyat yang terpilih dari Dapil Banten III ini.

“Seharusnya perusahaan BUMN bisa selangkah lebih maju dalam menangani Covid19, dan dengan itu bisa neringankan beban masyarakat atas harga tes metode SWAB yang cukup mahal,” tegasnya.

Selain itu, Ananta juga mempertanyakan mengapa beberapa obat untuk kasus Covid19 tidak ditalangi oleh pemerintah, dan bahkan terjadi kelangkaan obat. Ananta menyebut contoh obat ACTEMRA untuk kasus gawat darurat Covid19, dan Terapi Plasma Konvalesen, di mana pasien yang kritis justru harus bayar sendiri biaya 2 obat tersebut. (Agung).

Respon (1)

Tinggalkan Balasan