Opini, Semartara.News — Jika kita membuka TikTok hanya beberapa menit, besar kemungkinan kita akan menjumpai konten seputar kesehatan mental. Mulai dari video tentang cara mengenali trauma, tanda-tanda kecemasan, hingga ajakan untuk mencintai diri sendiri dan menjalani proses penyembuhan. Fenomena ini menunjukkan satu hal penting: generasi muda kini semakin peduli pada kesehatan mental mereka.
Namun, di balik arus positif tersebut, muncul kebiasaan baru yang patut dicermati, yakni self-diagnose—kecenderungan mendiagnosis kondisi mental diri sendiri hanya berdasarkan konten media sosial.
Media Sosial sebagai Ruang Berbagi Generasi Muda
Bagi Generasi Z, TikTok dan Instagram bukan sekadar ruang hiburan. Ia telah menjelma menjadi tempat belajar, berbagi pengalaman, sekaligus mencari validasi emosional. Banyak kreator menceritakan pengalaman pribadi tentang depresi, kelelahan emosional, kecemasan, atau relasi yang tidak sehat. Konten-konten ini membuat isu kesehatan mental terasa lebih dekat, nyata, dan tidak lagi tabu untuk dibicarakan.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa paparan konten kesehatan mental di media sosial dapat meningkatkan kesadaran generasi muda akan pentingnya menjaga kesehatan psikologis. Banyak anak muda menjadi lebih berani mengakui kelelahan, belajar mengenali emosi, serta memahami bahwa merasa “tidak baik-baik saja” adalah bagian dari pengalaman manusia. Dari sinilah konsep self-love berkembang—mencintai diri sendiri dengan memahami batas kemampuan, kebutuhan emosional, dan hak untuk beristirahat.
Ketika Edukasi Bergeser Menjadi Self-Diagnose
Masalah mulai muncul ketika konten yang dikonsumsi tidak selalu akurat atau disampaikan secara terlalu sederhana. Tidak sedikit video yang merangkum gangguan mental hanya dari beberapa ciri umum. Akibatnya, muncul kesimpulan instan: “Ini persis seperti aku, berarti aku depresi.”
Padahal, kondisi kesehatan mental tidak dapat ditentukan hanya dari satu atau dua gejala, apalagi melalui potongan video berdurasi singkat. Sejumlah studi di Indonesia menunjukkan bahwa praktik self-diagnose cukup umum di kalangan pengguna TikTok, terutama karena masih rendahnya literasi kesehatan mental. Alih-alih membantu, kebiasaan ini justru berpotensi menimbulkan kecemasan berlebihan, kesalahpahaman tentang diri sendiri, bahkan menghambat seseorang untuk mencari bantuan profesional yang tepat.
Peran Algoritma yang Tak Bisa Diabaikan
Algoritma media sosial turut memperkuat persoalan ini. Ketika seseorang sering menonton atau berinteraksi dengan konten kesehatan mental, platform akan terus menyajikan video serupa. Tanpa disadari, pengguna bisa terjebak dalam echo chamber—ruang gema yang membuat setiap emosi negatif terasa seperti tanda gangguan mental.
Padahal, tidak semua rasa sedih, lelah, atau overthinking adalah gejala penyakit psikologis. Banyak di antaranya merupakan respons normal terhadap tekanan hidup. Tanpa pemahaman yang seimbang, pengalaman emosional yang wajar bisa disalahartikan sebagai masalah serius.
Bijak Menghadapi Arus Konten Kesehatan Mental
Konten kesehatan mental di media sosial sejatinya bukan musuh. Ia bisa menjadi pintu awal untuk peduli pada diri sendiri dan orang lain. Namun, perlu ditegaskan bahwa media sosial bukan ruang diagnosis. Self-love seharusnya mendorong seseorang untuk merawat diri secara utuh—termasuk berani mencari bantuan profesional ketika diperlukan—bukan sekadar memberi label pada diri sendiri.
Di tengah derasnya arus konten digital, generasi muda perlu dibekali literasi kesehatan mental yang memadai: kemampuan menyaring informasi, memahami keterbatasan konten populer, serta mengetahui kapan harus mencari pertolongan yang tepat.
Karena pada akhirnya, proses menyembuhkan diri bukanlah tentang mengikuti tren, melainkan tentang memahami diri sendiri dengan kesadaran dan kebijaksanaan.
Penulis: Hana Rosdiana
Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)







