Berita  

Aksi Tolak UU Cipta Kerja, GMNI Ajukan Sembilan Tuntutan

Masa Aksi GMNI saat melakukan Tuntutan Penolakan UU Cipta Kerja. Foto: Masa Aksi GMNI Manado

Jakarta, Semartara.News – DPP GMNI menggelar aksi kepada pemerintah menolak UU Cipta Kerja yang disahkan saat pandemi Covid19. Ada sembilan poin tutuntan yang diajukan oleh DPP GMNI untuk pemerintah. Berikut sembilan poin tuntutan DPP GMNI.

Sebagai organisasi perjuangan yang berwatak kerakyatan, DPP GMNI bersama seluruh elemen masyarakat menolak UU Cipta Kerja yang banyak merugikan kaum marhaen (rakyat kecil).

DPP GMNI menilai, Pemerintah dan DPR menggap rakyat sebagai objek politik, dengan minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja ini.

DPP GMNI saat melakukan aksi penolakan UU Cipta Kerja

Terdapat Pasal 127 UU Cipta Kerja mengenai Bank Tanah, ini memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. Bank Tanah diberikan hak pengelolaan untuk memberikan Hak Pakai, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan kepada pihak lain selama 90 tahun. (padahal saat ini, 1% Penduduk Indonesia menguasai 68% tanah di Indonesia).

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dapat menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan (Karhutla) tetapi pemerintah dan DPR menghapusnya di UU Cipta Kerja. Penghapusan redaksi “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” pada Pasal 88 UU PPLH. Sehingga Pasal 88 tersisa “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”

Pemerintah dan DPR berupaya menghapus partisipasi publik, dengan dihapusnya Pasal 93 UU Cipta Kerja.

Apabila korporasi melakukan pelanggaran dan merugikan masyarakat, korporasi hanya mendapatkan sanksi administrasi, tidak ada sanksi pidana yang jelas.

Dirubahnya isi dari Pasal 11 dan Pasal 18 UU Pers pada UU Cipta Kerja berpotensi mengancam nilai-nilai kebesan pers bagi jurnalis.

UU Cipta Kerja menambahkan Pasal 77A yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur untuk sektor tertentu. Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu.

UU Cipta Kerja menambahkan Pasal 88C yang menghapuskan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebagai dasar upah minimum kerja. Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.

Korlap Aksi DPP GMNI, Aru Pratama MS mempertanyakan terkait pengambilan keputusan yang terkesan terburu-buru dan dipaksakan. Sebab, proses pengambilan keputusannya pun tidak mengindahkan partisipasi publik.

“Apakah dalam penyusunan UU Cipta Kerja antara Pemerintah dan DPR memikirkan buruh dan keluarganya yang sedang menghadapi bayang-bayang PHK masal? Apakah memikirkan petani yang susah menjual hasil taninya karena ketidak jelasan pasar?,” kata Aru, Kamis (8/10/2020).

(AD)

Tinggalkan Balasan