Berita  

Ko Aseng, Petani Garap di Tengah Gempuran Kota Industri

Kok Aseng (61), petani garap di wilayah Kelurahan Mekar Bakti, Kecamatan Panongan, Kabupaten Tangerang . (Widi Hatmoko)

SEMARTARA – Bertani tidak hanya karena kebutuhan ekonomi dan pangan semata. Namun ada pelajaran yang didapat. Banyak nilai-nilai kebaikan dari alam yang bisa menjadi pelajaran hidup. Terutama tentang bagaimana proses dalam kehidupan. Semua tidak ada yang instan, butuh perjuangan.

Demikianlah selarik berbincangan dengan Ko Aseng (61), seorang petani garap di wilayah Kelurahan Mekar Bakti, Kecamatan Panongan, Kabupaten Tangerang, beberapa waktu lalu. Menurutnya, bertani dan menanam padi adalah sebuah proses dalam menyelamatkan kehidupan. Kehidupan keluarga dan kehidupan peradaban.

“Kalau orang sudah tidak mau lagi bertani, atau sudah tidak ada lagi lahan untuk pertanian, peradaban manusia akan hancur, dan kehidupan akan mati. Karena kita semua kan butuh makan. Dari mana kita dapat makanan kalau bukan dari pertanian,” ujar Ko Aseng.

Ia juga mengungkapkan, menjadi petani garap di tengah-tengah kota industri bukanlah hal yang mudah. Karena, hama yang bisa mengancam hasil panen tidak hanya datang dari tikus atau burung-burung emprit peking pemakan padi. Tapi juga limbah pabrik penyebab polusi. Cepat atau lambat, ini bisa merusak kesuburan tanah.

“Ini tidak bisa dipungkiri, cepat atau lambat, semakin banyak pabrik dan menghasilkan limbah, bisa menjadi ancaman buruk bagi kesuburan tanah. Kalau sudah begini, lahan untuk bertani udah tidak bisa lagi,” katanya.

Tantangan lain dalam mengembangkan pertanian di daerah yang dikenal dengan Kota Seribu Pabrik ini, adalah masalah SDM. Karena, generasi sekarang sudah banyak yang tidak mau bergelut di dunia pertanian. Mereka lebih menyukai bekerja yang isntan, dan langsung dapat uang.

Saat ini, Ko Aceng menggarap lahan sawah tadah hujan seluas 1 hektar. Dalam satu tahun ia bisa dua kali panen. Satu kali panen usia padi 3 sampai 3 setengah bulan. Hasil sekali panen rata-rata 4 ton gabah. Jika digiling menjadi beras sekitar 600 kg, atau 6 kwintal. Pun demikian karena ia menggarap lahan milik orang lain, dari 4 ton gabah tersebut ia mendapat bagian 2.6 ton, atau 4 kwintal beras.

“Biaya pupuk sama bibit bisa hampir lima jutaan. Tapi tenaga, mulai dari pembuatan bibit, perawatan sampai panen enggak kita hitung. Karena semua kita kerjakan sendiri. Paling dibantu ada keluarga,” katanya.

Ko Aseng juga mengungkapkan, kalau dilihat dari segi keuntungan, sangat tipis dibanding dengan kerja kerasnya selama 3 bulan. Namun demikian, keluarganya selalu memiliki stock beras yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Bahkan, dalam 1 kali panen saja sudah bisa untuk memenuhi kebutuhan makan satu tahun keluarganya. Selebihnya bisa ia jual.

Ko Aseng hanya berharap, lahan sawah yang ia kelola saat ini, oleh pemiliknya tidak dijual kepada pengembang. Karena, selain menjadi salah satu penopang kebutuhan ekonomi, terutama di sektor pangan, jika lahan sawah tersebut dijual oleh pengembang dan dibuat kawasan perumahan, bisa berdampak pada lingkungan.

Kondisi geografis tanah tersebut lebih rendah dari daerah sekitarnya, dan menjadi salah satu resapan air jika musim penghujan. Jadi, jika diratakan dan menjadi kawasan perumahan, potensi banjir di wilayah tersebut sangat tinggi, terutama kompleks perumahan di sekitarnya.

Tinggalkan Balasan