Yapinus Pertanyakan Peran Pemerintah Soal Pengambilalihan Sekolah Anak TKI

SEMARTARA – Perusahaan Felda Global Ventures SDN BHD, bersama pemerintah, melalui Konsulat Republik Indonesia Tawau, Sabah Malaysia, diduga secara sepihak tanpa adanya perundingan mengambil alih sekolah di Sabah Malaysia yang sudah selama 11 tahun dikelola Yayasan Peduli Insani Nusantara (Yapinus).

Pengambilalihan tersebut resmi setelah diterbitkannya himbauan pengelolaan dari Duta Besar RI Kuala Lumpur kepada Dato Zakaria Arshad, Grup Presiden FGV Holdings Berhad dan diteruskan melalui surat nomor: (25)14/1/80/13-7 Tanggal 15 Agustus 2018 dari pihak perusahaan Felda, kepada Yapinus yang memberi kabar tentang pengambilalihan pengurusan sekolah di perusahaan Felda, Sabah Malaysia.

Merujuk surat himbauan KBRI Kuala Lumpur, terkait tuduhan kepada Yapinus ini memiliki track record kurang baik sejak 2008, dan senantiasa memutarbalikkan fakta di media dan mengatasnamakan pejabat untuk menekan perusahaan perkebunan, adalah hal yang tidak benar.

Sebab, fakta sebaliknya adalah bahwa semua persyaratan dalam menyelenggarakan hal tersebut telah dipenuhi. Bahkan memiliki hubungan baik dan memiliki nota kesepahaman dengan pihak perusahaan. Selain itu juga telah mendapat rekomendasi dari Kepala District Officer Lahad Datu, BNP2TKI, Direktorat Pendidikan Non-Formal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Direktur Kalimantan Utara, Sosek Malindo, serta rekomendasi Ketua Pengarah Keselamatan Sabah, untuk memberikan pelayanan pendidikan anak TKI di Malaysia.

Demikian disampaikan Ketua Umum Yapinus, Firdaus Gigo Atawuwur, melalui keterangan tertulis kepada Semartara.com, pada Rabu (22/8). “Jika ada kekurangan terkait manajemen dan perijinan seharusnya ada solusi dari pihak pemerintah, karena semua persyaratan Yapinus dalam menyelenggarakan hal tersebut telah dipenuhi. Sejak dahulu, seharusnya pemerintah yang dalam hal ini konsulat RI, jika punya itikad baik, senantiasa membina, bukan mematikan usaha dalam memperhatikan nasib anak-anak TKI di luar negeri,” paparnya.

“Kami sejak 11 tahun yang lalu didasari kepedulian terhadap anak-anak TKI di Malaysia. Dan faktanya mereka tidak mendapat perhatian pemerintah, mereka tidak mengenyam pendidikan, bahkan banyak dipekerjakan di perkebunan membantu orang tua, juga tidak sedikit dari data kami terjadi pernikahan di bawah umur, sehingga berdampak pada tindakan kekerasan anak, pemerkosaan, bahkan beberapa kasus pembunuhan,” lanjut Firdaus, seraya menegaskan tentang legalitas Yapinus sebagai pengelola pendidikan di Malaysia.

Dirinya mengaku senantiasa berkoordinasi dan melaporkan kegiatan setiap saat mengunjungi konsulat terkait penyelenggaraan pendidikan, namun pihak konsulat tidak pernah mengindahkan bahkan terkesan menutup diri. “Padahal sebelumnya, perwakilan Pemerintah Indonesia baik dari Konsulat RI Tawau maupun Konsulat Jenderal RI Kota Kinabalu terdahulu, sudah beberapa kali mengunjungi kegiatan sekolah-sekolah yang dikelola kami,” tuturnya.

Hal aneh terkait masalah ini, menurut dia, pihak Konsulat RI telah mengeluarkan surat tugas tertanggal 6 Februari 2018 kepada 9 Guru untuk membantu pendirian Sekolah Anak TKI di Ladang Felda, padahal Yapinus telah menjalankan 9 sekolah sejak 2008.

“Kami hanya menyayangkan, karena kami senantiasa berkoordinasi dengan pihak KBRI dan Konsulat RI di Tawau Selama ini, namun tidak pernah diundang dan dilibatkan oleh pihak konsulat untuk membicarakan terkait pelaksanaan pendidikan di luar negeri,” katanya.

“Bahkan dalam kesempatan rapat pada 27 April 2018 di Konsulat RI di Tawau ketua PKBM, Ibu Maulini Zeda bahkan pernah diusir dari ruang rapat tanpa alasan yang jelas dari pihak konsulat,” imbuhnya.

Saat ini, lanjutnya lagi, siswa dari sembilan Sekolah Non-Formal dari tingkat SD, SMP, SMA yang telah dibina Yapinus, tidak mendapatkan pelayanan pendidikan, bahkan dalam waktu dekat, pihak perusahaan akan membatalkan ijin tinggal guru-guru dan menggantikan guru baru dari konsulat.

“Maka hal ini berdampak pada nasib guru-guru yang akan dipulangkan dari Malaysia, padahal mereka telah mengabdi sejak tahun 2008 mendidik anak-anak TKI di Sabah Malaysia tanpa dukungan dan bantuan pemerintah Indonesia selama ini,” tandasnya.

Diketahui, hingga berita ini dirilis, para guru dan anak-anak TKI yang selama ini bersekolah sedang menanti dalam ketidakpastian akibat pengambilalihan secara sepihak. (Helmi)

Tinggalkan Balasan