Opini  

Menjadikan Ilmu Sosial Lebih Bermakna: Reaktualisasi Gagasan Kuntowijoyo

Reaktualisasi ilmu sosial profetik Kuntowijoyo dorong penelitian sosial di Indonesia berbasis humanisasi dan keadilan.
Rizki Insan Wiguna. (Foto: Dok. Pribadi)

 Opini, Semartara.NewsDalam beberapa dekade terakhir, ilmu sosial Indonesia menghadapi tantangan relevansi. Di tengah meluasnya masalah kemiskinan, ketimpangan struktural, korupsi, dan disorientasi moral, penelitian sosial lebih sering berhenti pada tataran deskriptif mendata fenomena tanpa memberikan arah perubahan. Kondisi inilah yang pernah dikritik oleh Kuntowijoyo, seorang pemikir besar Indonesia, melalui gagasannya tentang ilmu sosial profetik. Gagasan tersebut kini terasa semakin mendesak untuk dihidupkan kembali, bukan hanya sebagai kerangka teoritis, tetapi sebagai paradigma kerja ilmu sosial yang menjawab kebutuhan zaman.

Kuntowijoyo mengajukan ide bahwa ilmu sosial tidak boleh berhenti pada penjelasan (explanation) atau sekadar memahami (verstehen), melainkan harus bergerak pada transformasi. Ia menawarkan tiga dimensi profetik: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Tiga nilai ini menegaskan bahwa ilmu sosial seharusnya memulihkan martabat manusia, membebaskan mereka dari struktur yang menindas, dan menjembatani nilai-nilai moral dalam perubahan sosial. Dengan demikian, ilmu sosial tidak hanya menjadi ilmu untuk mengetahui, tetapi juga ilmu untuk memberdayakan.

Reaktualisasi gagasan ini penting karena ilmu sosial arus utama sering kali terjebak dalam objektivisme yang steril. Penelitian yang berlimpah tidak selalu berbanding lurus dengan kontribusi terhadap pemecahan masalah nyata. Padahal, realitas sosial Indonesia hari ini membutuhkan keberanian intelektual untuk mengaitkan teori dengan praksis, serta menegakkan etika dalam produksi pengetahuan. Ilmu sosial profetik menghadirkan sintesis antara rasionalitas ilmiah dan komitmen kemanusiaan.

Di era digital, reaktualisasi gagasan Kuntowijoyo bisa diwujudkan melalui beberapa langkah. Pertama, mendorong metodologi riset yang lebih partisipatoris, sehingga masyarakat tidak hanya menjadi objek penelitian, tetapi subjek yang menentukan arah riset. Kedua, mengaitkan hasil penelitian dengan advokasi kebijakan publik yang jelas, sehingga temuan akademik dapat mengoreksi ketimpangan struktural. Ketiga, menjadikan nilai moral dan keadilan sosial sebagai kompas dalam setiap proses produksi pengetahuan.

Pada akhirnya, opini ini menegaskan bahwa ilmu sosial akan benar-benar bermakna apabila ia mampu mengubah kehidupan. Kuntowijoyo telah menyediakan pondasinya; tugas generasi hari ini adalah menghidupkan kembali gagasan tersebut dalam konteks baru yang lebih kompleks. Reaktualisasi ilmu sosial profetik bukan sekadar penghormatan terhadap pemikiran seorang intelektual, tetapi merupakan upaya kolektif untuk menghadirkan ilmu yang membebaskan dan memanusiakan.

Penulis: Rizki Insan Wiguna, Mahasiswa Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Pamulang Serang.

Dosen Pembimbing : Angga Rosidin, S.I.P, M.A.P
Kepala Program Studi : Zakaria Habib Al-Razie, S.I.P., M.Sos. (*)

Tinggalkan Balasan