Opini, Semartara.News – Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia, salah satunya melalui kehadiran media sosial. Platform seperti Instagram, X, TikTok, Facebook, dan WhatsApp bukan hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga ruang sosial baru tempat manusia membangun identitas, mengekspresikan pendapat, serta membentuk relasi. Media sosial kini hadir dalam hampir setiap aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga kehidupan sosial dan budaya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial tidak lagi bersifat netral. Ia turut memengaruhi cara manusia berpikir, bersikap, dan berperilaku. Perubahan tersebut terjadi secara perlahan namun masif, sehingga sering kali tidak disadari oleh penggunanya. Oleh karena itu, penting untuk melihat bagaimana media sosial berperan dalam membentuk perilaku manusia di era digital, sekaligus memahami dampak dan tantangan yang ditimbulkannya.
Salah satu perubahan paling nyata akibat media sosial terlihat pada pola komunikasi manusia. Interaksi tatap muka yang sebelumnya menjadi bentuk komunikasi utama kini banyak tergantikan oleh pesan instan dan komentar digital. Komunikasi menjadi lebih cepat dan praktis, namun sering kali kehilangan kedalaman makna. Ekspresi emosi, empati, dan bahasa tubuh yang biasanya hadir dalam percakapan langsung tidak sepenuhnya dapat disalurkan melalui media digital. Kondisi ini membuat kesalahpahaman dan konflik komunikasi lebih mudah terjadi.
Media sosial juga memengaruhi cara manusia membangun dan menampilkan identitas diri. Banyak pengguna terdorong untuk menampilkan sisi terbaik kehidupannya melalui unggahan foto, video, atau status. Proses seleksi ini melahirkan budaya pencitraan, di mana penilaian diri sering kali bergantung pada respons publik berupa jumlah “like”, komentar, dan pengikut. Akibatnya, standar kebahagiaan dan kesuksesan menjadi bersifat semu dan tidak selalu mencerminkan realitas kehidupan yang sesungguhnya.
Perubahan perilaku tersebut berdampak pada pola pikir masyarakat, khususnya generasi muda. Media sosial menciptakan standar sosial baru yang sering kali sulit dicapai. Kehidupan orang lain yang tampak ideal di layar dapat memicu rasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecemasan, bahkan tekanan psikologis. Tanpa disadari, media sosial membentuk cara individu memandang dirinya sendiri dan lingkungannya.
Selain itu, derasnya arus informasi di media sosial turut mengubah cara manusia mengolah pengetahuan. Informasi dapat diakses dengan sangat cepat, namun tidak selalu disertai dengan proses verifikasi yang memadai. Hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian mudah tersebar dan dikonsumsi secara luas. Banyak pengguna cenderung bereaksi secara emosional sebelum berpikir kritis, sehingga media sosial kerap menjadi ruang konflik alih-alih ruang dialog.
Media sosial juga berkontribusi pada polarisasi sosial. Algoritma platform digital cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Akibatnya, seseorang hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinannya sendiri. Ruang diskusi menjadi sempit, sementara sikap toleransi terhadap perbedaan semakin melemah. Perbedaan pendapat sering kali dipandang sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari dinamika sosial yang sehat.
Dampak media sosial tidak berhenti pada aspek sosial dan kognitif, tetapi juga menyentuh aspek psikologis. Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menurunkan produktivitas, mengganggu konsentrasi, serta memicu kecanduan digital. Ironisnya, meskipun terhubung dengan banyak orang secara virtual, tidak sedikit individu yang justru merasa kesepian dan terisolasi dalam kehidupan nyata.
Meski demikian, media sosial tidak sepenuhnya membawa dampak negatif. Media sosial juga membuka peluang besar bagi penyebaran informasi edukatif, penguatan solidaritas sosial, serta pengembangan kreativitas. Media sosial dapat menjadi sarana pembelajaran, dakwah, advokasi isu sosial, dan partisipasi publik. Dengan pemanfaatan yang tepat, media sosial mampu menjadi alat yang memperkaya kehidupan manusia.
Oleh karena itu, tantangan utama bukan terletak pada keberadaan media sosial, melainkan pada cara manusia menggunakannya. Literasi digital menjadi kebutuhan mendesak agar masyarakat mampu bersikap kritis, bertanggung jawab, dan beretika di ruang digital. Tanpa literasi digital yang memadai, media sosial berpotensi memperkuat perilaku impulsif dan memperlebar konflik sosial.
Penulis: Ghiyas Miftahul Islam, Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten. (*)







