Gubernur KDM di Sumatera Saat Jawa Barat Darurat Bencana, Publik Bereaksi

Kritik publik menguat karena Gubernur Jawa Barat absen saat bencana, sementara warga terdampak banjir dan longsor menunggu kepemimpinan.
Sesi dialog Pentahelix membahas 'Kontroversi Aqua: Kuantum Akuntabilitas Strategis Berkelanjutan', diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas MH Thamrin bersama Pentahelix Center, KTP, dan IndexPolitica. (Foto: Ist)

Jakarta, Semartara.News — Ketidakhadiran Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), ketika provinsi yang ia pimpin tengah dilanda bencana alam memicu reaksi keras dari publik. Di saat banjir, rob, dan longsor menerjang sejumlah wilayah Jawa Barat, KDM justru berada di Sumatera untuk menangani bencana di luar daerah kewenangannya.

Empat kabupaten di Jawa Barat tercatat sebagai wilayah terdampak paling parah dengan 861 kepala keluarga atau 2.648 jiwa mengalami dampaknya secara langsung. Sebanyak 861 rumah warga terendam, dengan ketinggian air mencapai 20–50 sentimeter. Cuaca ekstrem akibat kondisi iklim yang tidak stabil meningkatkan risiko kejadian susulan di banyak titik.

Dalam kondisi darurat seperti ini, absennya gubernur menimbulkan pertanyaan besar mengenai prioritas kepemimpinan daerah.

Ketua Forum Silaturahmi Alumni UI (FORSA UI), Alip Purnomo, menegaskan bahwa setiap pemimpin daerah seharusnya fokus pada tanggung jawab utamanya.

“Penanganan bencana di Sumatera biarlah ditangani pemerintah pusat dan daerah setempat. Mekanisme nasional sudah lengkap. Publik pun bisa menyalurkan bantuan melalui jalur resmi,” ujarnya dilansir Jumat, 6 Desember 2025.

Alip menyebut, kehadiran pejabat luar daerah di lokasi bencana bukan saja tidak efektif, tetapi juga berpotensi mengganggu koordinasi.

“Itu wilayah bencana, bukan tempat berwisata kepedulian. Apalagi Desember dikenal rawan cuaca ekstrem. Bantuan tetap dapat diberikan, tetapi harus melalui lembaga yang berwenang.”

Ia menegaskan bahwa pejabat publik tidak boleh bertindak di luar koridor kewenangannya. Niat membantu bisa berubah menjadi beban jika tidak sesuai prosedur atau membahayakan keselamatan.

Lebih jauh, Alip menilai ketidakhadiran KDM di wilayahnya sendiri saat bencana terjadi dapat merusak kredibilitas, integritas, dan tanggung jawab moralnya sebagai gubernur. Bahkan, kondisi ini memperkuat persepsi publik bahwa KDM lebih mementingkan pencitraan media sosial dibanding menjalankan mandat konstitusional.

Sebagai alumni salah satu kampus di Jawa Barat, Alip menilai dirinya berkewajiban memberi kritik dan masukan. Ia mengingatkan bahwa provinsi ini merupakan zona rawan bencana, dengan kerentanan ekologis yang tinggi akibat kerusakan lingkungan, mulai dari daerah pegunungan hingga wilayah pesisir.

“KDM harus pulang. Jawa Barat membutuhkan pemimpinnya hadir di lapangan, bukan sekadar terlihat peduli di tempat lain,” pungkasnya. (*)

Tinggalkan Balasan