Opini  

Ilmu Sosial Profetik: Solusi Krisis Etika dan Maraknya Cyberbullying di Media Sosial

Ilmu Sosial Profetik tawarkan solusi cyberbullying melalui humanisasi, liberasi, dan transendensi di media sosial.
Hana Farhatun Nabila. (Foto: Dok. Pribadi)

Opini, Semartara.News — Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia berkomunikasi. Media sosial kini menjadi arena baru bagi interaksi, ekspresi diri, dan pembentukan identitas. Namun di balik kemudahan itu, ruang digital juga menghadirkan sisi gelap: derasnya kebencian, hujatan, perundungan, dan serangan psikologis yang kadang lebih mematikan daripada kekerasan fisik. Fenomena cyberbullying yang semakin marak memperlihatkan bahwa masyarakat digital tengah mengalami krisis etika.

Salah satu contoh nyata terjadi di Kabupaten Tangerang pada tahun 2024. Seorang siswi SMA menjadi korban perundungan digital setelah fotonya diunggah tanpa izin oleh teman sekelasnya ke Instagram dan TikTok. Komentar-komentar bernada menghina bermunculan, menyebar cepat, dan menempel kuat pada ruang publik digital. Siswi tersebut mengalami kecemasan, kehilangan rasa percaya diri, dan akhirnya takut untuk bersosialisasi. Peristiwa ini bukanlah kasus tunggal—melainkan representasi dari gelombang masalah etika yang kini melanda generasi muda.

Fenomena seperti ini membuktikan bahwa cyberbullying bukan sekadar tindakan individu yang “kebetulan jahat”. Ia merupakan gejala sosial yang dipengaruhi budaya digital yang permisif, kurangnya literasi media, lemahnya kontrol sosial, dan absennya pondasi etika dalam berperilaku di dunia maya. Kita hidup dalam masyarakat yang terkoneksi, namun kerap kehilangan empati.

Di titik inilah Ilmu Sosial Profetik (ISP)—sebuah gagasan visioner dari Kuntowijoyo—menawarkan jalan pulang. ISP menghadirkan paradigma sosial yang tidak sekadar menjelaskan fenomena, tetapi mengarahkan perubahan moral. Dengan tiga pilar utama—humanisasi, liberasi, dan transendensi—ISP dapat menjadi kompas etika dalam menghadapi krisis sosial digital.

1. Humanisasi: Mengembalikan Martabat di Ruang Digital

Humanisasi menegaskan bahwa setiap individu, baik offline maupun online, memiliki martabat yang harus dihormati. Media sosial sering membuat seseorang lupa bahwa di balik layar ponsel ada manusia nyata dengan perasaan. Dengan perspektif humanis, pengguna media sosial didorong untuk lebih peka, empatik, dan berhati-hati sebelum menulis komentar atau mengunggah sesuatu yang melibatkan orang lain.

2. Liberasi: Membebaskan dari Penindasan Digital

Liberasi hadir untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan—termasuk perundungan siber. Prinsip ini menuntut adanya sistem perlindungan, kebijakan sekolah, dan dukungan komunitas agar korban tidak dibiarkan menghadapi serangan digital sendirian. Ini berarti sekolah, keluarga, pemerintah daerah, bahkan tokoh masyarakat perlu berkolaborasi menciptakan ruang digital yang aman.

3. Transendensi: Etika dan Kesadaran Moral dalam Setiap Tindakan

Transendensi mengingatkan bahwa perilaku manusia tidak lepas dari nilai moral. Meski media sosial tampak seperti ruang bebas tanpa batas, setiap tindakan di dalamnya tetap mengandung konsekuensi. Dengan transendensi, pengguna media sosial diajak untuk “menghadirkan nurani” sebelum mengunggah, membagikan, atau berkomentar.

Implementasi ISP di Lapangan: Dari Sekolah hingga Masyarakat Banten

Gagasan profetik bukan hanya abstraksi. Ia dapat diwujudkan melalui program-program konkret, seperti:

  • Edukasi etika digital di sekolah-sekolah di Serang, Pandeglang, Rangkasbitung, Tangerang, dan daerah lainnya.
  • Pelatihan bagi guru dan orang tua untuk mengenali tanda-tanda cyberbullying dan cara menanganinya.
  • Pembangunan sistem pelaporan cepat untuk kasus perundungan digital di tingkat sekolah dan kampus.
  • Gerakan “Bijak Sebelum Mengunggah” yang dapat disosialisasikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat.
  • Pembiasaan literasi moral digital agar siswa terbiasa menyaring informasi, mengontrol emosi, dan berpikir sebelum berkomentar.

Jika ketiga pilar ISP diterapkan secara konsisten, masyarakat digital dapat kembali pada nilai-nilai kemanusiaan, bebas dari penindasan, dan menjadikan ruang daring sebagai sarana memperkuat, bukan merusak, hubungan sosial.

Penutup

Krisis etika di media sosial merupakan tantangan besar bagi masyarakat modern. Namun dengan pendekatan Ilmu Sosial Profetik, kita memiliki dasar moral sekaligus panduan praktis untuk membangun ekosistem digital yang lebih manusiawi. ISP bukan sekadar teori akademik, melainkan arah perubahan yang relevan dengan kebutuhan zaman.

Dengan mengintegrasikan humanisasi, liberasi, dan transendensi, ruang digital dapat menjadi tempat tumbuhnya dialog sehat, kreativitas, dan kebajikan—bukan ladang perundungan dan luka psikologis. Karena itu, Ilmu Sosial Profetik layak dijadikan paradigma etis dalam menjawab tantangan sosial di era digital.

Penulis: Hana Farhatun Nabila
Mahasiswa Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang (UNPAM) Kampus Serang

Dosen Pengampu: Angga Rosidin, S.I.P., M.I.P. (*)

Tinggalkan Balasan