Opini  

Bencana Ekologis di Indonesia: Dampak Eksploitasi Alam dan Jalan Keluar Menurut Syariat

Kerusakan ekosistem adalah peringatan Al-Qur’an atas ulah manusia. Islam menawarkan solusi menjaga mizan dan amanah sebagai khalifah bumi.
Imaam Yakhsyallah Mansur, Pembina Jaringan Ponpes Al-Fatah se-Indonesia. (Foto: Dok. Pribadi)

Opini, Semartara.News — Bencana ekologis yang terjadi beruntun di berbagai wilayah Indonesia—mulai dari banjir bandang, longsor, hingga kerusakan hutan yang meluas—menjadi sinyal kuat bahwa alam sedang kehilangan keseimbangannya. Dalam perspektif Islam, kerusakan ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan akibat langsung dari ulah manusia yang mengeksploitasi bumi tanpa kendali serta mengabaikan amanah sebagai khalifah di muka bumi. Syariat Islam memberikan panduan jelas tentang bagaimana manusia seharusnya menjaga alam agar terhindar dari musibah.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan bahwa umat terdahulu yang tenggelam dalam kemungkaran telah merusak tatanan kehidupan dan keseimbangan alam, hingga Allah menurunkan bencana sebagai peringatan. Senada dengan itu, Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menyebut bahwa kerusakan alam muncul karena manusia memperturutkan hawa nafsu, berbuat zalim, merusak ekosistem, dan mengabaikan aturan Ilahi.

Ayat ini menegaskan bahwa merawat alam bukan sekadar kewajiban ekologis, tetapi kewajiban spiritual. Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, deforestasi, pencemaran sungai, dan kerakusan terhadap keuntungan materi berujung pada musibah yang kembali menimpa manusia sendiri.

Ekosistem: Amanah yang Menopang Kehidupan

Ekosistem adalah jaringan kehidupan yang saling terhubung: gunung sebagai penyangga, hutan sebagai paru-paru bumi, sungai sebagai sumber keberkahan. Semuanya diciptakan untuk menunjang kehidupan manusia.

Namun ketika manusia memandang alam semata sebagai objek ekonomi, bukan amanah, keseimbangan itu runtuh. Banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah contoh nyata bagaimana kerusakan ekologis berbuah musibah.

Islam memandang bumi sebagai amanah fisik dan spiritual. Manusia sebagai khalifah fil ardh bertugas memakmurkan bumi, bukan merusaknya. Ketika amanah ini ditinggalkan, manusia sendiri menanggung risikonya.

Tragedi Ekologis sebagai Peringatan Moral

Bencana ekologis bukan hanya tragedi fisik, tetapi juga peringatan moral. Musibah dapat menjadi panggilan untuk kembali kepada ketakwaan, memperkuat integritas, dan memperbaiki perilaku terhadap alam.

Kaidah fikih menyebutkan:

“Mencegah kerusakan lebih utama daripada mengejar kemaslahatan.”
Ketika eksploitasi hutan menguntungkan sebagian pihak sementara masyarakat sekitar mengalami kerusakan lingkungan, maka terjadi ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip syariat.

Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki keadaan. Pemerintah, ulama, akademisi, dan masyarakat harus bekerja bersama, bukan saling menyalahkan.

Solusi Islam dalam Menjaga Kelestarian Alam

Allah berfirman:

“Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS Al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini menekankan keseimbangan hidup: mengejar kebaikan dunia dan akhirat sekaligus menjaga bumi dari kerusakan. Islam memberikan sejumlah konsep penting untuk menjaga lingkungan:

1. Mīzān (keseimbangan)

Alam diciptakan dengan keseimbangan. Ketika manusia melampaui batas, keseimbangan itu terganggu.

2. Ihsan (berbuat sebaik-baiknya)

Setiap tindakan manusia harus dilakukan dengan kesadaran bahwa Allah melihatnya—termasuk dalam pengelolaan hutan, sungai, tambang, dan pembangunan.

3. Hima (kawasan konservasi)

Rasulullah SAW menetapkan kawasan yang dilindungi demi menjaga sumber daya alam. Prinsip ini relevan dengan konsep hutan lindung dan zona konservasi modern.

Pemerintah memiliki peran strategis dalam memastikan kebijakan lingkungan berpihak pada keselamatan masyarakat, bukan hanya keuntungan ekonomi. Tempat ibadah dan institusi pendidikan juga dapat menjadi pusat pembinaan kesadaran ekologis berbasis nilai agama.

Penutup

Bencana ekologis adalah pesan yang disampaikan alam. Ia mengingatkan manusia untuk kembali menjaga keseimbangan, menjalankan amanah, dan menghidupkan nilai takwa dalam pengelolaan bumi. Menjaga alam bukan sekadar upaya teknis—melainkan ibadah yang menentukan masa depan kehidupan.

Penulis: Imaam Yakhsyallah Mansur, Pembina Jaringan Ponpes Al-Fatah se-Indonesia. (*)

Tinggalkan Balasan