Opini, Semartara.News — Maraknya kasus perundungan terhadap perempuan yang terus viral di media sosial menunjukkan bahwa ruang digital masih jauh dari kata netral. Ia bukan sekadar ruang bebas berekspresi, melainkan arena tempat bias gender bekerja secara halus namun brutal. Serangan berupa body shaming, pelecehan verbal, hingga penghinaan terhadap pilihan hidup perempuan bukanlah “drama dunia maya” yang bisa diabaikan begitu saja. Fenomena ini justru mengonfirmasi bahwa ketimpangan struktural yang dikaji dalam teori feminisme masih mengakar kuat dalam budaya digital kita.
Jika melihat pola yang muncul, gagasan Simone de Beauvoir tentang perempuan sebagai “the Other” masih sangat terasa relevansinya. Perempuan sering diposisikan sebagai pihak yang selalu dinilai, diawasi, dan diatur berdasarkan standar patriarkis: harus berpenampilan “pantas”, harus bersikap “baik”, dan tidak boleh membuat kesalahan sedikit pun. Di media sosial, bias ini tampak jelas ketika penampilan atau pendapat perempuan jauh lebih cepat dihakimi dibandingkan laki-laki. Misalnya, kreator konten perempuan kerap dihujat habis-habisan hanya karena pakaian yang mereka kenakan, padahal konten serupa dari kreator laki-laki sering luput dari penghakiman sekeras itu. Pertanyaannya: apakah masalahnya benar pada pakaian, atau pada cara pandang masyarakat terhadap tubuh perempuan?
Pendekatan feminisme radikal membantu kita melihat bahwa kekerasan terhadap perempuan, termasuk perundungan di media sosial, bukan sekadar masalah personal antara pelaku dan korban. Ia adalah bagian dari struktur sosial yang masih menormalisasi ketimpangan gender. Selama perempuan tetap dilihat sebagai objek — entah objek seksual, objek penilaian moral, atau objek hiburan — selama itu pula kekerasan verbal dan simbolik dianggap wajar. Di titik inilah media berperan besar. Seperti yang diungkapkan bell hooks, media kerap mereproduksi stereotip yang menyalahkan perempuan ketika mereka menjadi korban. Pola ini mudah ditemukan di kolom komentar: ketika perempuan mengalami pelecehan, respons yang muncul bukan “pelaku harus dihukum”, melainkan “kenapa pakaiannya begitu?”, “kenapa tampil di media sosial?”, atau “kan dia sendiri yang cari perhatian”.
Sikap menyalahkan korban (victim blaming) ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga berbahaya. Ia menggeser fokus dari pelaku ke korban, seolah-olah perempuan yang mengalami pelecehan adalah pihak yang harus mengubah diri, sementara pelaku tetap tak tersentuh. Ini memperkuat pesan bahwa ruang digital bukan milik semua orang, melainkan hanya milik mereka yang sanggup bertahan dari kekerasan verbal. Padahal, jika standar yang digunakan selalu patriarkis, perempuan akan selalu ditempatkan dalam posisi salah: terlalu berani disalahkan, terlalu diam juga disalahkan.
Algoritma media sosial memperparah situasi ini. Platform cenderung mendorong konten yang memicu emosi kuat, termasuk kemarahan dan kebencian, karena interaksi tinggi dianggap sebagai tanda “keberhasilan” konten. Akibatnya, unggahan dan komentar bernada perundungan sering kali justru mendapat panggung terbesar. Ketika komentar merendahkan perempuan disukai, dibagikan, dan ditimpali dengan hinaan lain, pelaku merasa tindakannya bukan hanya diterima, tetapi juga didukung. Mereka mendapat validasi sosial, sementara korban menghadapi tekanan psikologis berlapis-lapis: rasa malu, takut, terisolasi, hingga enggan muncul lagi di ruang publik digital.
Secara teoritis, negara sebenarnya telah menyediakan jalur hukum, misalnya melalui regulasi terkait kejahatan digital. Namun, dalam praktiknya, proses hukum sering kali berjalan lambat, rumit, dan tidak ramah korban. Banyak kasus berakhir tanpa kejelasan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Di saat yang sama, platform media sosial juga belum konsisten menindak akun-akun yang melakukan kekerasan berbasis gender. Konten berisi hinaan atau pelecehan bisa bertahan lama sebelum dihapus, sementara pelaku dengan mudah membuat akun baru jika akunnya diblokir. Kombinasi lemahnya penegakan hukum dan tidak tegasnya kebijakan platform membuat warganet yang melakukan perundungan merasa bebas berulang kali melakukannya tanpa konsekuensi berarti.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada individu yang “tidak sopan di internet”, tetapi pada sistem yang membiarkan kekerasan tersebut terus berulang. Selama negara, platform digital, dan masyarakat tidak secara serius menganggap perundungan terhadap perempuan sebagai bentuk kekerasan berbasis gender, maka upaya perubahan akan berjalan di tempat. Artinya, penanganan masalah ini harus dilakukan secara simultan: melalui regulasi yang tegas, penegakan hukum yang berpihak pada korban, dan perubahan budaya yang menolak normalisasi kekerasan.
Di sinilah pentingnya literasi digital yang sensitif gender. Literasi digital bukan sekadar mengajarkan cara menggunakan platform, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa komentar di dunia maya punya dampak nyata. Satu kalimat merendahkan bisa membuat seseorang ragu untuk tampil di ruang publik, kehilangan rasa percaya diri, bahkan mengalami gangguan psikologis. Ketika perempuan terus-menerus diserang setiap kali bersuara, sesungguhnya yang dibungkam bukan hanya individu, tetapi juga pengalaman, gagasan, dan perspektif yang mereka bawa.
Selain itu, solidaritas terhadap korban perlu dihidupkan sebagai sikap politik, bukan sekadar simpati sesaat. Membela korban bukan berarti menutup ruang diskusi, tetapi menolak cara-cara kekerasan yang menyamarkan diri sebagai “kebebasan berpendapat”. Mengingatkan teman yang melontarkan komentar seksis, melaporkan akun pelaku, serta tidak ikut menyebarkan konten yang melecehkan adalah langkah-langkah kecil yang justru memiliki dampak penting. Diam di hadapan perundungan pada akhirnya hanya menguntungkan pelaku.
Tanpa perubahan cara pandang dan tindakan kolektif, ruang digital akan terus menjadi cerminan ketidaksetaraan yang sudah lama ada di dunia nyata. Perempuan akan terus dipaksa menyesuaikan diri dengan standar yang tidak mereka ciptakan, sementara pelaku kekerasan dibiarkan bersembunyi di balik anonimitas dan dalih “sekadar bercanda”. Oleh karena itu, menciptakan ruang digital yang lebih aman bagi perempuan bukanlah pilihan tambahan, melainkan keharusan jika kita benar-benar menginginkan masyarakat yang adil dan setara. Jika tidak, suara perempuan akan semakin tenggelam, dan media sosial hanya akan menjadi panggung tempat bias gender terus dipertunjukkan tanpa henti.
Penulis: Alya Shafitri, Mahasiswa Program Studi Administrasi Negara,
Dosen Pembimbing: Angga Rosidin, S.I.P., M.A.P.
Kepala Program Studi: Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P., M.Sos.
Universitas Pamulang PSDKU Serang. (*)







