Jakarta, Semartara.News — Lima organisasi buruh kunci di industri penerbangan tanah air secara resmi bergabung membentuk Federasi Serikat Pekerja Penerbangan Indonesia (FSPPI). Entitas baru ini berfungsi sebagai platform kolektif untuk memperjuangkan kemandirian, kesejahteraan, dan kelestarian sektor penerbangan di Indonesia.
Pernyataan pendirian ini menandai era baru dalam dinamika hubungan kerja di bidang penerbangan. Untuk pertama kalinya, tenaga kerja dari berbagai divisi — mulai dari kabin pilot, pengaturan lalu lintas udara, operasional bandara, dukungan darat, hingga mekanik pesawat — bersatu dalam satu federasi nasional yang kokoh.
FSPPI telah terdaftar secara sah di Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang dengan nomor Tanda Bukti Pencatatan: B/1980/500.15.13.1/IX/2025, serta terafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Federasi ini mengintegrasikan lima serikat buruh utama di ranah penerbangan, yakni:
1. Asosiasi Pilot Garuda Indonesia (APG)
2. Serikat Pekerja Angkasa Pura Indonesia (SP API)
3. Serikat Karyawan Airnav Indonesia (SKYNAV)
4. Serikat Pekerja Aerotrans Service Indonesia (SPASI)
5. GMF Employee Club (GEC)
Fondasi Baru bagi Industri Penerbangan Domestik
Dengan motto “Solidaritas, Profesionalisme, dan Kemitraan Strategis”, FSPPI bertindak sebagai penghubung antara karyawan, pimpinan perusahaan, dan otoritas pemerintah untuk meningkatkan ketangguhan sektor penerbangan nasional di tengah tantangan internasional.
Federasi ini bertekad memajukan lima prioritas pokok:
1. Kesejahteraan dan jaminan hukum bagi tenaga kerja penerbangan;
2. Peningkatan keterampilan dan mutu sumber daya manusia;
3. Relasi kerja yang selaras dan efisien;
4. Kemandirian sektor penerbangan dalam negeri;
5. Partisipasi dinamis dalam regulasi penerbangan internasional dan kawasan.
Suara dari Udara
Presiden Asosiasi Pilot Garuda Indonesia (APG) Capt. Ruli Wijaya menekankan bahwa kebijakan Open Sky Policy harus ditangani secara bijak agar tidak merugikan otonomi ekonomi dirgantara Indonesia.
“FSPPI dibentuk untuk menjaga agar pembukaan rute berlangsung adil — mempromosikan efisiensi tanpa merusak kemandirian negara. Ruang udara Indonesia bukan hanya wilayah fisik, melainkan lambang kedaulatan,” katanya pada Senin (13/10/2025).
Ketua Umum Serikat Karyawan Airnav Indonesia (SKYNAV) Muhammad Ndaru Gamayanto menyoroti urgensi keterlibatan karyawan dalam pembuatan kebijakan di tengah kemajuan digitalisasi pengaturan udara.
“Keamanan penerbangan tak boleh dikompromikan. Karyawan harus terlibat langsung dalam pengambilan keputusan, bukan hanya sebagai pelaksana,” tegasnya.
Di sisi lain, Jemmy J. Pongoh, Ketua Umum Serikat Pekerja Angkasa Pura Indonesia (SP API) sekaligus Ketua Umum FSPPI, menyatakan bahwa federasi ini muncul dari kesadaran bersama untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan karyawan.
“Kami menolak pemisahan antara keuntungan dan kesejahteraan. Keduanya dapat saling mendukung melalui pengelolaan yang tepat dan visi membangun negara,” ujarnya.
“FSPPI akan mendampingi perubahan di industri penerbangan agar tetap pro-karyawan, berintegritas, dan berkelanjutan.”
Dari Apron hingga Bengkel Pesawat
Ketua Umum Serikat Pekerja Aerotrans Service Indonesia (SPASI) Suhendra menegaskan bahwa tenaga layanan darat adalah barisan depan dalam menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang.
“FSPPI melambangkan bahwa pekerja ground handling, tim transportasi, dan pendukung operasional juga punya peran dalam membentuk masa depan penerbangan nasional,” katanya.
Sementara Budi Cahyono, Ketua Umum GMF Employee Club (GEC), menggarisbawahi kontribusi teknisi penerbangan sebagai penjaga utama keselamatan yang sering terabaikan.
“Kesesuaian udara bermula dari bengkel. Kami ingin memastikan bahwa personel teknis dihargai, terlindungi, dan terus ditingkatkan kemampuannya. Indonesia punya potensi MRO bertaraf dunia — SDM teknis harus dijadikan aset utama, bukan sekadar operator,” tambahnya.
Ruang Udara Indonesia Wajib Dikuasai Putra Daerah
Ketua Dewan Pembina FSPPI Mohammad Jumhur Hidayat menekankan bahwa penerbangan merupakan tulang punggung koneksi dan otonomi nasional.
“Kebijakan Open Sky serta liberalisasi udara global tak boleh diterapkan sembarangan. Ruang udara Indonesia harus dikelola oleh putra daerah yang qualified,” ungkapnya.
Jumhur juga membahas tiga isu krusial di sektor penerbangan saat ini: liberalisasi, pengurangan emisi karbon, dan transformasi digital.
Baginya, Indonesia perlu mengelola ketiganya dengan prinsip otonomi, keberlanjutan, dan keadilan bagi masyarakat.
Ia mengusulkan penyusunan Strategi Industri Penerbangan Nasional yang menekankan keamanan pengaturan udara, penguatan MRO lokal, pengembangan pesawat regional, peningkatan SDM berstandar global, peralihan ke energi ramah lingkungan (SAF), serta perlindungan karyawan di masa digital.
“FSPPI berada di posisi strategis sebagai mitra pemerintah untuk membangun industri penerbangan yang mandiri, aman, dan adil secara sosial,” katanya.
Menuju Era Penerbangan yang Inklusif
Ke depan, FSPPI berjanji terlibat secara proaktif dalam agenda penerbangan internasional. Prioritasnya meliputi peningkatan peran Indonesia di forum ICAO dan ASEAN Air Transport, adaptasi ke penerbangan hijau, implementasi Safety Management System (SMS), penguatan keterampilan pekerja, serta perluasan akses udara yang merata ke daerah perbatasan dan kepulauan.
Dengan kehadiran FSPPI, tenaga kerja penerbangan Indonesia kini memiliki basis perjuangan dan kerjasama yang baru.
Federasi ini menjadi lambang bahwa kemajuan sektor hanya berarti jika menyiratkan keadilan bagi para pelaku yang menjaga langit tanah air. (*)