Opini  

Polisi di Persimpangan Jalan: Mengutamakan Keamanan Negara atau Keamanan Manusia?

Refleksi 79 tahun Polri: reformasi, arah keamanan manusia, dan tantangan menjaga kepercayaan publik di era Prabowo.
Mohammad Nasir, Anggota Forum Wartawan Kebangsaan dan Mantan Wartawan Harian Kompas, meliput di Markas Besar Polri awal tahun 1990-an. (Foto: Dok. Pribadi)

Opini, Semartara.News — Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merayakan ulang tahun ke-79 pada 1 Juli 2025. Sejak berdirinya, lembaga ini secara eksplisit disebut sebagai “Kepolisian Negara”, yang menandakan perannya sebagai instrumen negara.

Sepanjang sejarahnya, Polri telah melewati berbagai fase, termasuk eksperimen dalam pengelolaan keamanan. Mulai dari penekanan pada keamanan negara (state security) hingga pendekatan keamanan manusia (human security), keduanya pernah mendominasi agenda.

Meski demikian, keluhan masyarakat masih sering terdengar. Isu krusial yang muncul adalah: ke mana arah fokus Polri sekarang? Apakah lebih prioritas melindungi negara dan asetnya, atau justru menciptakan rasa aman bagi warga sebagai individu dalam masyarakat?

Kejelasan visi ini sangat dibutuhkan. Polisi seharusnya tidak hanya tampak sebagai penjaga kekuasaan dan kepentingan negara, tapi juga sebagai pelindung bagi rakyat yang menjadi pondasi bangsa.

Reformasi Polri: Harapan dan Tantangan

Presiden Prabowo Subianto telah membentuk Komite Reformasi Polri, sementara Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga sedang merestrukturisasi dari internal. Namun, hasil akhir reformasi seperti apa? Masyarakat menanti bukti konkret yang terukur.

Forum Wartawan Kebangsaan (FWK), di bawah koordinasi Raja Parlindungan Pane, mendesak percepatan reformasi. Pada diskusi FWK tanggal 8 Oktober 2025, Raja Pane menekankan bahwa perubahan Polri harus mengembalikan esensi kepolisian sebagai penjaga rakyat, bukan penguasa.

“Langkah reformasi yang diambil Presiden Prabowo Subianto sangat pas. Sudah lewat lebih dari dua dekade sejak UU Polri diberlakukan, kini waktunya disesuaikan dengan dinamika era modern,” kata Raja Pane.

Pelajaran dari Insiden Sukabumi

Sejarah Polri mencakup perjuangan sejak sebelum kemerdekaan hingga menghadapi kejahatan digital saat ini. Namun, pelayanan keamanan untuk masyarakat belum sepenuhnya merata.

Contoh mencolok adalah kejadian di Kampung Citangkil, Sukabumi, pada 27 Juni 2025. Sebuah rumah singgah di desa itu dirusak oleh kerumunan meskipun polisi sudah hadir di tempat. Lebih ironis lagi, bangunan tersebut sedang digunakan untuk kegiatan retret bagi siswa usia 10–14 tahun. Anak-anak justru menjadi saksi langsung kekerasan yang seharusnya dicegah oleh aparat.

Kasus ini mengungkap kelemahan dalam keamanan manusia. Polisi gagal memberikan perlindungan optimal, padahal trauma yang dialami anak-anak dan warga bisa berlangsung lama.

Keamanan Manusia: Lebih dari Sekadar Negara

Keamanan manusia bukan hanya soal perlindungan fisik, tapi juga hak-hak dasar, kebebasan berekspresi, dan rasa aman sehari-hari.

Dalam buku Keamanan Manusia: Konsepsi, Implementasi, dan Perbandingan Negara Lain (Imparsial, 2023), Al Araf dan Evitarossi Budiawan menulis:

“Pada era sekarang, keamanan tak lagi terbatas pada menjaga negara sebagai entitas utama, melainkan juga melindungi kesejahteraan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan secara keseluruhan.”

Laporan Pembangunan Manusia UNDP 1994 juga menguraikan dua dimensi pokok keamanan manusia:
Kebebasan dari ancaman berkelanjutan seperti kelaparan, sakit, dan penindasan.
Perlindungan dari gangguan mendadak yang mengacaukan rutinitas hidup.

Secara lebih detail, ada tujuh area: keamanan ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, pribadi, komunal, dan politik. Di antaranya, keamanan politik dianggap paling vital karena berkaitan dengan penangkalan represi dari negara, termasuk kebebasan media dan hak beropini.

Sayangnya, gagasan human security yang sempat populer di dekade 1990-an kini mulai memudar, tergantikan oleh dominasi state security.

Peran Aktif Masyarakat

Saat keamanan manusia belum optimal, warga tak boleh pasif. Upaya menjaga keamanan lokal harus dihidupkan kembali.

Sistem ronda malam (siskamling), hansip, serta Pam Swakarsa bisa direvitalisasi. Masyarakat juga perlu dilatih keterampilan dasar, termasuk bela diri. Jangan sampai warga lebih rentan terhadap penjahat daripada dilindungi oleh penegak hukum.

Kesimpulan

Polri lahir sebagai alat negara. Namun, di tengah perubahan zaman yang dinamis, pertanyaan esensial tetap menggantung: apakah Polri akan tetap menjadi penjaga negara, atau berevolusi menjadi pelindung bangsa?

Jawaban atas dilema ini akan membentuk citra Polri masa depan—apakah ditakuti atau dicintai oleh rakyatnya.

Penulis: Mohammad Nasir, anggota Forum Wartawan Kebangsaan dan eks wartawan Harian Kompas, yang pernah meliput di Markas Besar Polri pada awal 1990-an. (*)

Tinggalkan Balasan