Kota Serang, Semartara.News – Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Dapil Banten II, Annisa Mahesa, menegaskan komitmennya untuk terus membangun ruang aman bagi penyintas atau para korban kekerasan seksual.
Pernyataan itu disampaikan dalam Dialog Publik yang membahas isu kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dengan tema ‘Hak Saya Hak Kita’ yang diselenggarakan oleh Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kota Serang.
Acara tersebut dihadiri lebih dari 150 pelajar SMA dan SMK se-Kota Serang digelar di Kantor PKK Kota Serang pada Jum’at 22 Agustus 2025 ini menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Ny. Arfina Rustandi (Ketua Tim Penggerak PKK Kota Serang), dr. Hena Arini (Ketua Tim Kerja Khusus Anak), serta Febby Muftia Ali (Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Polresta Serang Kota).
Dalam kesempatan tersebut, Annisa mengedukasi mengenai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menjadi payung hukum dalam penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia.
“Banyak klasifikasi-klasifikasi yang ternyata termasuk ke dalam kekerasan seksual, sekarang muncul pula bentuk kekerasan yang dikenal sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Kita harus memahami bahwa ruang digital juga bagian dari kehidupan modern ini, sehingga perlindungan terhadap korban wajib dijamin sepenuhnya,” ungkap Annisa.
Merujuk data Sistem Informasi Online Perlindungan Anak (SIMFONI-PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah kasus kekerasan di Provinsi Banten hingga Agustus 2025 mencapai 853 kasus yang dilaporkan.
“Seringkali korban kekerasan seksual menghadapi trauma yang begitu mendalam sehingga mereka tidak mampu mencari bantuan untuk penanganan maupun pemulihan,” ujar Annisa.
Sejalan dengan permasalahan tersebut, Annisa turut menegaskan hak-hak korban kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TPKS, di mana korban berhak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana. Hak tersebut mencakup pemulihan psikologis, pemulihan medis, jaminan keamanan digital, perlindungan hukum, keamanan finansial, serta keamanan fisik. UU ini juga memberikan hak pemulihan bagi keluarga korban dengan prinsip care-for-the-caregivers.
Lebih lanjut, Annisa menjabarkan aksi nyata yang dapat dilakukan bersama, antara lain sebagai individu dapat menjadi pendengar yang aman, menemani korban melapor, atau membantu mengakses layanan bantuan dan apabila kasus kekerasan seksual berada di lingkup Institusi/lingkungan kerja dan kampus, maka wajib menciptakan SOP yang jelas terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta membentuk Tim Khusus atau Satgas yang terlatih.
Annisa juga mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengadopsi perspektif korban dalam setiap proses hukum. Ia menegaskan pentingnya pelatihan berkelanjutan bagi APH agar penanganan kasus dilakukan dengan sensitivitas tinggi, sehingga proses hukum tidak menambah trauma bagi korban.
“Saya selalu berada di sisi korban, dan tentunya siap memberikan pendampingan dan pemulihan 100%, tanpa biaya, dan tanpa harus membuka identitas. Hal ini menjadi komitmen dan keseriusan saya karena korban kekerasan seksual berhak atas rasa aman, keadilan, dan masa depan yang lebih baik,” tutup Annisa. (Kahfi)