Jakarta, Semartara.News – Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pada bulan Juni 2025, terdapat 3.858 pengaduan terkait perilaku debt collector yang beroperasi di sektor fintech, yang lebih dikenal dengan istilah pinjaman online (pinjol). Pengaduan ini mencakup berbagai bentuk intimidasi, mulai dari ancaman verbal, penyebaran data pribadi, penagihan kepada kontak darurat, hingga kekerasan fisik. Fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan yang mengkhawatirkan antara regulasi yang ada dan praktik di lapangan.
Krisis ini tidak hanya berdampak pada aspek finansial, tetapi juga menimbulkan masalah psikologis dan sosial yang serius. Meskipun OJK telah memperkuat regulasi melalui POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat, pelanggaran di lapangan masih terus terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap lembaga keuangan serta pihak ketiga yang mereka pekerjakan.
Tuntutan Akuntabilitas Negara: Intervensi Komprehensif dan Penegakan Hukum
Skala krisis ini telah mencapai titik di mana negara harus mengambil tindakan tegas. Kasus-kasus kekerasan yang terus bermunculan, termasuk penculikan dan pembunuhan seorang Kepala Cabang Bank BUMN di Jakarta oleh sekelompok debt collector, menunjukkan bahwa ancaman ini tidak lagi sebatas intimidasi, melainkan tindak pidana serius. Insiden penagihan brutal lainnya, seperti penganiayaan terhadap karyawan pabrik, semakin mempertegas daruratnya situasi ini.
Sebagai respons, Komisi Hukum DPR mendesak agar negara tidak membiarkan intimidasi terhadap rakyat dan menegaskan bahwa hukum harus menjadi pelindung masyarakat. Penertiban terhadap institusi dan kelompok premanisme yang berkedok debt collector harus menjadi prioritas utama.
Pendapat Ahli: Analisis Mendalam Mengenai Kekerasan dan Kriminalitas
Para ahli telah menyoroti dampak mendalam dari praktik penagihan yang agresif. Psikolog klinis Fitri Fausiah menyatakan bahwa teror dari pinjol dapat membuat korban merasa putus asa, bahkan sampai pada titik di mana mereka merasa tidak tahu harus berbuat apa, yang berujung pada keinginan untuk mengakhiri hidup.
Kriminolog Prof. Dr. Adrianus Meliala menekankan bahwa kekerasan oleh debt collector adalah fenomena kriminal yang dipicu oleh faktor-faktor struktural, seperti tekanan dari perusahaan untuk menagih utang. Beliau berpendapat bahwa kurangnya pelatihan dan pengawasan mendorong mereka untuk menggunakan cara-cara yang melanggar hukum.
Berdasarkan laporan dari LBH Jakarta, banyak korban telah mengajukan pengaduan. Jeanny Silvia Sari Sirati, Pengacara Publik di LBH Jakarta, menjelaskan bahwa gaya penagihan yang memaksa dan mengintimidasi dilakukan karena para debt collector mengejar target dari perusahaan. Buku saku LBH Jakarta tahun 2020 juga menyarankan korban untuk tetap tenang dan mengambil langkah hukum, seperti membuat laporan pidana ke kepolisian.
Hak Konsumen yang Dilindungi Hukum
Peminjam memiliki hak fundamental yang wajib dilindungi, dan mereka harus tahu bahwa mereka tidak perlu menghadapi intimidasi. Beberapa hak tersebut meliputi:
- Hak untuk Tidak Diintimidasi: Debt collector dilarang menggunakan ancaman, kekerasan fisik atau verbal, dan tindakan memalukan dalam proses penagihan.
- Batasan Waktu Penagihan: Penagihan hanya boleh dilakukan pada pukul 08.00 hingga 20.00 waktu setempat, kecuali ada perjanjian lain.
- Hanya Menagih kepada Peminjam: Debt collector dilarang menagih kepada pihak lain selain peminjam, termasuk kontak darurat.
- Perlindungan Data Pribadi: Penyebaran data pribadi peminjam adalah pelanggaran serius yang dapat dikenakan sanksi pidana.
Aturan Penagihan OJK dan Pasal-Pasal Pidana bagi Pelanggar
OJK telah mengeluarkan aturan tegas mengenai tata cara penagihan. Jika debt collector melanggar aturan, mereka dapat dipidanakan. Pasal 368 KUHP (Pemerasan) dan Pasal 335 KUHP (Perbuatan Tidak Menyenangkan) dapat menjerat pelaku yang melakukan ancaman atau pemaksaan, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 9 tahun. Hukuman ini dapat lebih berat jika pemerasan disertai dengan kekerasan yang menyebabkan cedera serius atau kematian.
UU ITE Pasal 32 juncto Pasal 48 juga dapat digunakan untuk menjerat debt collector atau lembaga pinjol yang menyebarkan data pribadi atau melakukan pelecehan siber, dengan sanksi pidana berupa penjara 1 hingga 4 tahun dan denda 1 hingga 10 miliar rupiah.
Penyelesaian Masalah Hingga Akarnya: Ketimpangan Sosial dan Kriminalitas
Untuk mengatasi masalah ini secara permanen, pemerintah tidak hanya perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum, tetapi juga mengatasi akar masalahnya, yaitu ketimpangan sosial yang mendalam. Data menunjukkan bahwa kekerasan oleh debt collector dan tingginya angka kriminalitas di Indonesia memiliki korelasi yang kuat dengan ketimpangan ekonomi dan pendidikan.
Pendidikan dan Kesejahteraan yang Tidak Merata di Indonesia Timur
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, tingkat putus sekolah di Indonesia Timur mencapai 4,37%, lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat putus sekolah di wilayah barat Indonesia yang sebesar 3,52%. Rendahnya kualitas pendidikan di wilayah seperti Papua disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur, minimnya fasilitas, dan kualifikasi guru yang rendah.
Masalah serupa juga dialami oleh provinsi lain. Pada tahun 2019, DPRD Maluku mengakui bahwa pembangunan di daerah mereka menyisakan banyak tantangan, termasuk rendahnya kualitas pendidikan, tingginya tingkat kemiskinan, dan pengangguran. Kondisi ini tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), di mana provinsi di Indonesia bagian timur, seperti Papua Pegunungan dan Papua Tengah, menempati peringkat terendah secara nasional pada tahun 2024.
Kriminalitas yang Dipicu oleh Kemiskinan dan Ketimpangan
Hubungan antara kemiskinan, ketimpangan, dan kriminalitas telah diakui oleh banyak studi. Sebuah penelitian dari Jurnal Sosial dan Sains (Maret 2025) menemukan bahwa pendidikan rendah, pengangguran, dan tekanan ekonomi adalah faktor utama yang mendorong tindakan kriminal, termasuk kejahatan ekonomi seperti pencurian.
Data dari BPS menunjukkan bahwa jumlah kejahatan di Indonesia melonjak tajam menjadi 372.965 kasus pada tahun 2022. Meskipun tidak semua terkait utang, tingginya angka ini mengindikasikan adanya tekanan sosial dan ekonomi yang menjadi pemicu utama. GoodStats (April 2025) bahkan menempatkan Indonesia di urutan kedua ASEAN sebagai negara dengan skor kriminalitas tertinggi.
Krisis kekerasan oleh debt collector adalah cerminan dari ketimpangan dan kelemahan dalam sistem. Perlindungan konsumen harus menjadi prioritas utama. Negara wajib melindungi warganya dari praktik penagihan yang jahat. Ini memerlukan penguatan regulasi dan penegakan hukum yang lebih tegas, serta edukasi literasi keuangan yang masif dan dukungan psikologis serta sosial bagi para korban.
Namun, penyelesaian fundamentalnya adalah dengan mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi, terutama di daerah yang tertinggal. Dengan memberikan akses yang setara ke pendidikan berkualitas dan peluang karir yang layak, masyarakat tidak akan mudah terjerumus dalam jeratan utang atau terpaksa menjadi bagian dari kelompok premanisme.
“Hanya dengan pendekatan multisektoral dan kolaboratif, yang melibatkan seluruh elemen pemerintah dan masyarakat, Indonesia dapat menciptakan ekosistem pinjaman yang sehat, adil, dan benar-benar melindungi hak serta martabat setiap warga negaranya,” tutup Ibnu Haykal, Ketua Yayasan Pro Publika, dalam pernyataannya pada Selasa, 26 Agustus 2025. (*)